Akhirnya Menjadi Sarjana!

By Hamidah Foundation - 23.01

(dari kiri ke kanan) Aku, Anti, Prof Nawi, dan Nanni kala wisuda di Audotorium Amanaggappa, Jl Raya Pendidikan, 2013 lalu 

Akhirnya tiba masa kita harus bilang, “ Saya mesti mengakhiri pekerjaan dan aktivitas ini,” Iya tahun ini menjadi tahun terakhirku menjadi mahasiswa strata satu. Masa-masa menjadi mahasiswa dan aktivis selama lima tahun memang bukan perkara mudah untuk dilupakan. Mesti hati ini masih mau menjadi mahasiswa. 

Karena sangat masih ternging-ngiang kata mantan presiden Amerika Serikat yang namanya saya kurang ingat, “Seandainya aku bisa menjadi mahasiswa lagi, aku bisa bebas melakukan hal-hal yang positif dan mencari ilmu, sekarang aku terkurung dengan protokoler. Bukan diriku,”

Memang manjadi mahasiswa membuat kita bebas melakukan hal-hal yang kita inginkan. Kita bebas berkumpul, melakukan apapun tanpa ada paksaan. Mau menjadi aktivis terbuka lebar, mau menjadi akademisi juga terbuka lebar. 

Apa pun yang Anda mau. Dunia mahasiswa juga adalah pondasi untuk masa depan. Apa yang anda perbuat hari ini selama mahasiswa merupakan kontribusi untuk masa depan.

Maka saya rasa pondasi yang bangun selama ini. Cukuplah. Latihan tentang integritas sudah saya pupuk sejak maba. Loyalitas dan produktivitas di berbagai keilmuan, mudah-mudahan sudah cukup untuk masuk ke hutan belantara masyarakat. Dunia yang penuh dengan jebakan, intrik, dan seleksi alam yang sangat kompetitif. 

Jika anda tak punya skill  maka jatuh, mutlak menjadi jalan selanjutnya. Hingga orang jatuh butuh energi berlipat-lipat baik fisik maupun mental untuk bangkit. Bangkit dari rasa kalah, terpuruk, dan merasa tak punya harapan lagi. 

Suatu masa yang kelam. Mungkin membuat kita habis. Mungkin saya belum bisa menjamin untuk bisa bangkit seperti sedia kalah kalau sudah terjatuh. Tapi keadaan itu mesti kita pikirkan kondisinya nanti.

Saya rasanya masih ingin berduel dengan kuliah, berduel dengan kegiatan aktivis kemahasiswaan, berduel dengan  part time job. Menyibukkan diri hanya untuk kebaikan bukan material. Karena kalau kita sudah menjadi sarjana maka pekerjaan untuk material adalah satu-satunya yang menjadi tujuan kita jika mau tak melarat.

Semua kebutuhan dihitung dengan uang. Apalagi kalau tinggal di kota besar, seperti Makassar. Itu yang dikatakan senior yang sudah lebih dulu hengkang dari kampus.

Saya tetap mempertimbangkan perkataanya. Namun kalau kita cuman bekerja untuk materi maka hasilnya tak akan berberkah. 

Saya berpikirnya bekerja untuk kebaikan manusia dan diridhoi oleh “Sang Pemilik”, frase pada salah satu tulisan karib di ujung sana. Maka apa bedanya kita dengan kera. "Kalau hidup hanya sekedar hidup, hewan pun bisa," kata Buya Hamka.

Namun saya berpikir memang perlu mencari kerja. Kerja yang membuat kita senang melakukannya. Sehingga energi akan selalu ada. Energi dari dalam diri yang potensinya tak akan pernah habis kecuali “Sang Pemilik" memintanya kembali. 

Pekerjaan yang menimbulkan Passion. Tanpa ada paksaan, tanpa terbebani oleh tuntutan materi. Saya juga masih ingat kata pembimbing skripsiku, Ia mengatakan," Kalau kita bekerja untuk kebaikan orang banyak maka materi akan mengikuti." Sebuah kata-kata yang sangat masuk akal dan masuk ke hati. (*)

JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAMKU!
 




  • Share:

You Might Also Like

0 komentar