Gita Irawan Wiryawan |
Alumnus Harvard University, maka dibenak kita orang
ini pasti cerdas. Yah....memang sosok satu ini selalu bisa membawa angin segar
jika berada di sebuah lembaga yang dia pimpin. Maka tak heran jika Partai
Demokrat mengundang sosok satu ini mengikuti konvensi presiden RI 2014.
Sejak mengecap pendidikan di Harvad ia sudah
mempunyai banyak relasi. Kesuksesan Gita dalam mengelola perusahannya
dibuktikan ketika dalam hitungan bulan, Ancora (Perusahaan yang dia dirikan) berhasil
mengambil alih sebagian saham beberapa perusahaan besar seperti PT Bumi
Resources Tbk, Selain itu, ia juga merupakan salah satu komisaris PT Pertamina.
Pemikirannya tentang investasi, Gita meyakini bahwa
pembangunan di Indonesia masih memerlukan bantuan keuangan. Indonesia sebagai
negara berkembang, menurut Gita memerlukan investasi asing (foreign investment) sebagai penunjang
kekurangan modal (capital) yang
terjadi. Gita mengumpamakan Indonesia adalah sebuah bangunan yang kekurangan
dana untuk membuat atapnya.
Maka dari itu, bantuan dari luar sebaiknya tidak
ditanggapi negatif. Dengan sudut pandang positif, bantuan ini harus diartikan
sebagai modal untuk membangun kekuatan ekonomi. Dan kebetulan pihak luar negeri
memiliki sumber bantuan tersebut. Sebenarnya memang orang Indonesia sendiri
yang mengelola sumber dayanya sendiri, tetapi untuk periode tertentu bantuan
masih dibutuhkan. Akan tetapi, Gita tetap mengakui bahwa meminta bantuan dari
luar negeri memang dilematis. Sebagian kalangan menilai bahwa ini tidak
nasionalis dan hanya membahayakan kondisi ekonomi dalam negeri. Bagi Gita,
pandangan itu salah. Bantuan dari luar negeri seharusnya diartikan sebagai
dukungan untuk membangun ekonomi negara bukan menjual negara. Sekali lagi, ia
menegaskan bahwa bantuan itu harus ditanggapi dengan pola pikir (mindset) positif.
Namun menteri perdagangan ini banyak mendapat kritik
dari berbagai elemen. Apalagi orang-orang yang memegang teguh pasal 33 ayat 3 Undang-undang
Dasar 1945 yang berbunyi” Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Sebenarnya pemikiran Gita tentang Nasionalisme Ekonomi
sesuai dengan tabiat warga negara indonesia yang mempunyai komsumsi sangat
besar. Negara ini tentu harus memikirkan memberi makan 250 juta orang.
Untuk sekarang dengan mengandalkan produk domestik
sangat tak mungkin. Bayangkan saja kemarin harga bawang putih melonjat naik
karena impor terhambat di Bea Cukai, masyarakat sudah pusing tujuh keliling. Jika
bawang saja bisa membuat pusing maka bagaimana dengan produk primer lainnya. Maka
pemikiran Gita yang mendukung produk dalam negeri mesti bertahap.
Maka untuk membangun bangsa ini, menurut Gita, membutuhkan
terlebih dahulu bantuan dari luar. Jika rakyat ingin sejahtera. Jika bantuan
asing sekarang disetop maka pembangunan akan terhambat. Seperti kata Gita, “Nasionalisme
itu bukan soal MEMILIKI tapi soal MENYEJAHTERAKAN.”
Namun pemikiran Gita tentang Nasionalisme Ekonomi
ini banyak dianggap sebagai imperialisme di zaman modern. Mungkin pemikiran
Gita yang selalu melihat keadaan pasar. Seperti Indonesia membutuhkan banyak
mal karena komsumsi Indonesia yang kian tahun semakin bertambah. Bayangkan saja
20 tahun ke depan komsumsi Indonesia diprediksi 360 ribu triliun. Harga yang fantastis.
Gita memang selalu bisa membaca kebutuhan
masyarakat. Ia selalu bisa melihat peluang kemudian memanfaatkan peluang itu menjadi
kemenangan. Hal ini bisa terlihat dengan keputusan-keputusan di Kementerian
Perdagangan dan PBSI.
Maka Indonesia berada dipersimpangan, apakah akan
memilih miskin sekarang dengan tak meminta bantuan asing untuk mengolah sumber daya
alam dan manusia atau memilih miskin karena sumber daya alam tak ada yang bisa mengolah.
Lah...sekarang generasi muda hanya jadi konsumen. Pilihan ada di tangan bangsa
indonesia.
Pemikiran Soekarno yang mengatakan bahwa sumber daya
alam harus diolah sendiri oleh bangsa. Kalau belum bisa diolah biarkanlah berada
di perut bumi hingga bangsa indonesia bisa sendiri mengolahnya. Namun bagaimana
bangsa Indonesia bisa mengolahnya kalau mereka tak mau belajar dan meminta
bantuan dari bangsa lain. Dilema.
Saya menilai untuk tokoh yang mesti mempunyai
peran penting di perdagangan bebas 2015 adalah Gita Wiryawan. (*)
0 komentar