“Alam
ini masih merupakan bentuk tanpa roh, atau laksana cermin buram, yang belum
dapat memantulkan gambaran Tuhan secara sempurna. Tuhan baru dapat melihat
citra-Nya secara sempurna dan utuh pada Adam (manusia) sebagai cermin yang
terang, atau sebagai roh dalam jasad. Akan tetapi semua manusia termasuk dalam
kategori ini. Yang dimaksud dengan manusia ialah insan kamil.” Yunasril
Ali, dalam “Manusia Citra Ilahi”, seri disertasi, Paramadina, 1997.55.
Mungkin sangat kurang ajar jika kita bercita-cita
menjadi Tuhan. Bahkan bisa dianggap sesat. Makar. Bahkan menghina Tuhan. Bahkan
kita juga akan dianggap tak beragama. Keyakinan kita apa? Tapi bukankah agama
adalah lokomotif untuk mengenal Tuhan.
Pemikiran ini berasal dari Ibnu Arabi yang
mengatakan manusia bisa menjadi Tuhan dalam artian memiliki sifat Tuhan. Dia
telah memperlihatkan dirinya dalam wadah manusia yakni Nabi Muhammad SAW. Menurut
Ibnu Arabi, tajalli ilahi yang paling
sempurna adalah diciptakannya manusia dengan peran dan tugasnya sebagai
khalifah di bumi (QS Al-Baqarah: 30). Sosok manusia sempurna di dunia ini hanya
ada seorang, yaitu Nabi Muhammad SAW. Manusia lainnya, dapat dikatakan kurang
sempurna. Mengapa Rasulullah SAWpaling sempurna? Karena beliau merupakan
pancaran (nur-Muhammad) yang berasal dari Allah; yang pertama kali diciptakan
sekaligus tempat berasalnya ruh segala makhluk dan menjadi sumber dari ajaran
agama-agama.
Nurcholish Madjid pun memperkuat pernyataan saya di
atas dengan mengatakan manusia dalam artikelnya yang berjudul ”Kebebasan” adalah
jagad kecil (mikro-kosmos) yang
menjadi cermin jagad besar/raya (makro-kosmos).
Cak Nur mempunyai maksud bahwa diri manusia merepresentasikan atau
mencerminkan seluruh jagad raya atau alam semesta.
Jadi tak jarang orang-orang yang bercita-cita ingin mengikuti
budi luhur Nabi Muhammad juga sudah mempunyai tanda-tanda Tuhan. Karena Muhammad
adalah cerminan Tuhan. Tapi mesti ditekankan Muhammad bukan Tuhan tapi
cahaya-Nya. Bagaimana dengan manusia lain, apakah bisa menjadi Tuhan. Ibnu
Arabi mengatakan manusia lain tak bisa menjadi cermin sempurna untuk Tuhan
namun bisa mendekati.
Lalu kenapa Tuhan tidak hadir saja di Alam semesta?
Jawabannya karena Tuhan terlalu sempurna sedangkan Jagad Raya tak mampu
mewadahinya.
Bagaimana
mencari Tuhan?
Jalaluddin Rumi, seorang sufi dari Persia, mempunyai
analogi yang (saya kira) tepat tentang “wujud” hakikiyah (Tuhan). Rumi
bercerita bahwa ada orang India membawa seekor gajah ke suatu negeri yang
penduduknya belum pernah melihatnya. Mereka tempatkan gajah itu di sebuah rumah
yang gelap tanpa cahaya. Lalu, orang-orang pun masuk ke rumah itu satu demi
satu untuk merabanya. Begitu mereka keluar dari rumah itu, masing-masing pun
bercerita tentang apa yang ditangkap indera perabanya. Salah seorang yang
tangannya meraba belalai mengatakan: gajah itu seperti terompet! Yang meraba
telinganya mengatakan: gajah itu seperti kipas! Orang tinggi yang bisa meraba
punggungnya mengatakan: gajah itu seperti kasur! Sedang si pendek yang hanya
bisa meraba kaki-kakinya mengatakan: gajah itu seperti tiang!
Mereka semua tidak bersepakat. Masing-masing
meyakini bahwa apa yang dirabanya itu benar-benar mewakili makhluk gajah
tersebut. Mereka pun saling klaim dan saling gugat.
Dari cerita Rumi tersebut tampak bahwa pemahaman
setiap orang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh “penangkapan” yang bersifat
parsial sehingga wujud-mutlak yang ada dalam ruang dan waktu terbatasi dengan
“tabir-gelap” yang melingkupi para penafsir (peraba). Faktor kegelapan ruang
dan waktu inilah yang mengakibatkan mereka saling memunculkan temuan dan
pemahamannya yang beragam. Padahal, kalau saja ada “pelita” (di dalam ruang dan
waktu yang gelap itu) pasti mereka akan paham dan mengerti bahwa “wujud-mutlak”
(gajah di atas) adalah kesatuan dari temuan-temuan mereka. Pendeknya,
“realitas-hakikiyah” dapat diketahui dan dipahami ketika ada “cahaya” yang
menerangi dan membuka “tabir-gelap” yang membatasi panca indera dan akal
pikiran kita.
Untuk melengkapi bahasan, ada sebuah riwayat bahwa
Imam Ali bin Abi Thalib pernah ditanya: ”Apakah ia telah melihat Tuhan?” Ia
menjawab: “Aku tidak menyembah Tuhan yang terlihat mata maupun yang berada di
satu arah. Tetapi, aku hanya menyembah kepada Tuhan yang terlihat dengan ‘hati’
(iman) yang hadir di semua arah.”
Karena itu, “realitas-hakikiyah” Tuhan tidak dapat
didefinisikan dan dijelaskan dengan bahasa maupun simbol-simbol. Ia hanya mampu
dirasakan dan dipahami melalui ‘kesadaran’ yang terang karena cahaya. Selama
kita belum diterangi ‘cahaya’ maka yang ada dan tampak adalah “temuan-temuan”
yang parsial dan terbatas. Allah berfirman, “Dia tidak bisa dicapai oleh
penglihatan mata, tetapi Dia bisa melihat segala yang kelihatan.” (QS Al-Anam:
103). Seperti yang saya bilang tadi alam semesta tak bisa menampung Tuhan
karena Dia terlalu sempurna.
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik sebuah
simpulan sementara bahwa istilah dan nama-nama “Tuhan” (yang berbeda pada
setiap agama) adalah manifestasi (penampakan) dari “wujud-mutlak” yang
disimbolkan melalui cara dan tingkat pemahaman para penganut serta lokalitas
(ruang dan waktu) budaya atau agama setempat dan utusan-Nya.
Pernyataan inilah yang sering digugat oleh golongan
yang tak percaya dengan hal-hal yang kasat mata. Mereka meyakini Tuhan itu tak
ada. Mereka tak percaya dengan iman dan hati nurani padahal manusia memiliki
itu sedangkan golongan ini justru mengabaikannya. Mereka meyakini hanya logika
yang bisa dipercaya selebihnya itu hanya mistis atau tak ilmiah. Namun bukankah
ilmu pengetahuan terlalu mudah untuk memahami Tuhan yang begitu sempurna dan
tak terbatas.
Memang Muhammad telah tiada 14 abad silam dan wahyu
pun telah lama berhenti turun. Namun cahaya Muhammad akan tetap bersinar sampai
akhir zaman nanti. Inilah jalan kita mengenal Muhammad yang sekali lagi adalah cahaya
Tuhan. Haqiqat Muhammad selalu ada pada orang-orang yang senantiasa mencari
Tuhan. Bahkan Adam-pun terdapat haqiqat Muhammad. Allah, Adam dan Muhammad
adalah satu. Menurut Al-Jili, Sufi Baghdad, murid Abdul Qadir Al-Jailani, Insan
al-Kamil itu adalah copy Tuhan.
Jadi kalau mau menjadi Tuhan, ikutilah Muhammad.
Namun manusia tak akan pernah bisa mengidentisifikan
dirinya adalah Tuhan karena begitu banyak cobaan dan godaan. Banyak rintangan. Karena
manusia harus bisa menyamai keluhuran Insan al-Kamil yakni Muhammad. (*)
Referensi:
1. Monib
dan Bahrawi. 2011. Islam dan Hak Asasi Manusia dalam pandangan Nurcholish
Madjid
2. albanduni.wordpress.com
3. Kosasi,
Aceng. Konsep Insan Al Kamil Menurut Al Jili. UPI. Bandung.
0 komentar