Matahari belum memperlihatkan
wujudnya, Dg Ke’nang (50) sudah bersimpuh di depan Klenteng Kwang Kong, Jl
Sulawesi, Jumat (31/1). Ia sudah menembus kiloan meter dari rumahnya di Jl
Dangko, Makassar.
Beberapa saat kemudian, satu persatu
rekan senasibnya datang entah dari mana. Mereka hanya menyapa Dg Ke’nang. “Sallomaki (sudah lama),” sapa perempuan berbaju
lusuh itu.
Dg Ke’nang hanya tersenyum dan menggeleng.
Sejak itu mulai banyak orang memenuhi tempat peribadatan masyarakat Tionghoa di
Jl Sulawesi.
Mereka memakai busana ala pengemis. Baju lusuh, compang-camping,
dan berlumpur. Selain itu, badan mereka penuh luka dan beberapa terkena
penyakit kusta.
Tak sampai hari meninggi, beberapa keluarga
Tionghoa berdatangan. Suara sempritan menjadi penanda. Mereka memakai mobil. Tak
basa-basi langsung menuju khio (guci
tempat tempat pembakaran kertas-kertas doa). Dg Ke’nang hanya melihat keluarga
itu berlalu. Begitu pun teman-temannya.
Namun suasana mulai riuh ketika jamaah
Klenteng mulai keluar. Tangan Dg Ke’nang mulai menengadah. Meminta rupiah atau lazim
dikenal Ang Pao. Beberapa jamaah memberi
namun tak sedikit pula berlalu tanpa memberikan apapun. Kelakuan Dg Ke’nang dan
rekannya terus berulang.
Ia hanya menjawab. “Tena tau antarimaki nak punna kammaki anne
(Tak ada kerjaan yang bisa terima saya nak jika tubuhku begini),” sambil
memperlihatkan tangannya yang membusuk karena kusta.
Ia mengemis karena terpaksa. Apalagi
anaknya butuh makan. Suaminya seorang penarik bejak. Ia mengemis namun tak mau
anaknya seperti dia. Anak laki-lakinya baru mencari kerja. Sedangkan anak gadisnya
masih di sekolah menengah. “Punna niami
jamanna anakku, ammarima appakamma anne (Jika anakku sudah punya kerjaan,
saya akan berhenti mengemis),” katanya diikuti air menetes dari matanya.
Dg Ke’nang tak sendiri,
rekan-rekannya yang lain juga senasib dengannya. Bahkan banyak di antara mereka
sudah tak punya bagian tubuh.
Setiap tahun mereka datang. Berharap
rezeki dari rupiah jamaah Klenteng. Berharap tuah Hari Raya Imlek 2565. (*)
0 komentar