JANGAN SALAHKAN HUJAN!

By hasim.id - 11.01

Langit mendung di atas sebuah warung kopi di Kota Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Minggu (5/1/2019. 


Hujan sudah sampai di Tanah Sulawesi.

Hujan ini membahasahi bahkan menenggelamkan berbagai macam sesuatu yang berpijak ke bumi.

Sehingga, ada yang memuji dan menghujat hujan. Aku menulis dan mengangkat tema hujan menjadi salah satu liputan khusus di Tribun Timur, edisi Minggu (5/1/2020). 

Karena sering kali manusia tak menikmati hujan itu membawa rahmat. Membawa rezeki untuk kita semua. 

Air hujan akan mengamuk ketika tempatnya Anda ambil. 

Bukankah manusia juga akan mengambuk jika tempat mereka diambil oleh orang lain? begitu juga dengan hujan dia akan mengambil tempat Anda. 

Saya masih ingat setahun lalu, rumah ibuku terendam air luapan dari sungai. Banjir untuk pertama kali menerjang rumah kami. 

Kami bukannya tak menjaga aliran drainase untuk tak mengalir. Tapi, hutan di hulu Sungai Jeneberang sudah beralih fungsi. 

Mengutip Harian Tribun Timur, dalam catatan wahana lingkungan hidup (walhi) Sulawesi, penyebab kematian mereka adalah bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan telah diperkirakan terjadi di 90 persen wilayah Indonesia. 

Selain topografi alami di suatu wilayah, potensi bencana ekologis Indonesia terutama di Sulawesi Selatan turut disebabkan oleh maraknya deforestasi (penghilangan hutan) yang dipengaruhi oleh praktik pertambangan yang buruk, dan ekspansi perkebunan monokultur seperti perkebunan sawit, atau perkebunan yang lain yang mengubah fungsi hutan. 

Merujuk data studi Walhi Sulsel tahun 2019 tentang kondisi DAS Jeneberang yang sangat kritis, dimana vegetasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang yang berupa hutan tinggal 16,8 persen, sementara non hutan mencapai 83,2 persen. 

Hal itu yang membuat WALHI Sulsel yakin  bahwa tragedi banjir dan longsor merupakan bencana ekologis.

Hal itu diperkuat dengan hasil kajian bencana banjir dari Tim Kajian Banjir Sulawesi Selatan. 

Ketua Tim Kajian Banjir Sulsel, Dr Ir Syamsu Rijal SHut MSi IPU  mengungkap kajian tersebut untuk memperjelas penyebab banjir dan rawan banjir, 22 Januari 2019 lalu, 
Menurutnya, fenomena hujan ekstrim, 22 Januari 2019 lalu, memberikan dampak signifikan terhadap beberapa wilayah DAS dan kabupaten/kota seperti Kabupaten Gowa, Jeneponto, Takalar, Maros dan Kota Makassar. 

Faktor penyebab banjir, di samping karena curah hujan yang tinggi, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi faktor utama banjir bandang di beberapa daerah. 
Pemerintah bukan tak diam. 

Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWS PJ) membangun dua kolam retensi untuk mengurangi banjir di wilayah timur Kota makassar. Pertama, BBWS PJ membangun waduk pampang seluas 40 Ha. 

Selanjutnya, kolam regulasi nipa-nipa memiliki luas 84 Ha dengan tampungan sebesar 3,58 juta meter kubik. 

Bangunan ini akan menyimpan air untuk sementara waktu selama terjadi puncak banjir melalui pelimpah (spillway) dan mengalirkannya kembali ke hilir Sungai Tallo melalui pintu pengatur dan/atau pompa air. 

Keberadaan bangunan ini bisa menurunkan dampak tingkat resiko banjir sebesar 30 persen dari luas ±3.000 ha di daerah Makassar bagian Timur.

Halaman Lipsus Tribun Timur 

Banjir dan tanah longsor nampaknya menjadi langganan untuk masyarakat Sulawesi Selatan. Bencana sudah berulang kali terjadi di tanah Sulawesi namun tetap saja tak ada langkah radikal untuk menghalangi bencana ini. 

Masyarakat tetap saja menebang hutan hingga terjadi penggundulan hutan di daerah pegunungan sehingga terjadi deforestasi. 

Luas hutan Sulawesi Selatan tahun 2013 seluas 2.118.992 ha, namun sekitar 628 ribu ha kawasan dalam hutan dan 312 ribu luar kawasan hutan telah berubah menjadi lahan kritis. 

Jika begini maka sekali lagi jangan menyalahkan hujan. 

Kerusakan alam karena pekerjaan manusia sendiri merusak alam dengan dalih pembangunan.(*) 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar

Mari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!