Supaya NU tak Ditinggalkan Masyarakat

By hasim.id - 21.23

LEMBAGA Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan (Lakpesdam PWNU Sulsel) menggelar Dialog Akhir Tahun dengan tema 'Refleksi dan Proyeksi di Tengah Perubahan Zaman' di Red Corner, Jl Yusuf Daeng Ngawing, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (28/12/2019).


*Dari Dialog Akhir Tahun Lakpesdan NU Sulsel

LEMBAGA Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan (Lakpesdam PWNU Sulsel) menggelar Dialog Akhir Tahun dengan tema 'Refleksi dan Proyeksi di Tengah Perubahan Zaman' di Red Corner, Jl Yusuf Daeng Ngawing, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (28/12/2019).

Hadir langsung Guru Besar Unhas Prof Dr M Basir Syam MA, Peneliti Senior Balitbang Agama Makassar Prof Dr Arifuddin Ismail Ma, Direktur OASE Intim Prof Dr Zakaria Ngelow.

Prof Basir mengatakan Nahdlatul Ulama setia mesti tak mendapatkan porsi banyak mengelola negara Indonesia.

"Dari dulu kita setia, dari dulu ketika NU tak banyak mendapatkan porsi di zaman Soeharto maka kita tetap setia," katanya.

Ia juga membahas, NU tidak saja memberi sumbangan pemikiran untuk wacana nasionalisme Indonesia yang mendasar, terbuka dan  merangkum, melainkan juga membina ratusan juta warga bangsa yang berkomitmen pada nasionalisme Indonesia sejati.

Lanjut Prof Basri, para ulama harus disebut jasa-jasanya dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan mengisi pembangunan Indonesia sampai sekarang.

Dalam hubungan ini salah satu nama dari banyak tokoh nasional NU yang perlu disebutkan
adalah Gus Dur – KH. Abdurrahman Wahid (1940 – 2009).

Selain pernah menjadi Presiden Indonesia yang ke-4 (1999- 2001), ketokohan nasionalnya antara lain dalam bidang hubungan umat beragama.

Ide-ide dasarnya di bidang ini diabadikan dalam Sembilan Nilai Utama Gus Dur: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, dan kearifan lokal.

Jabaran nilai-nilai ini merupakan sumbangan penting bagi pembangunan “rumah bersama” kebangsaan dalam keragaman Indonesia.

Ia menjelaskan, pada beberapa waktu belakangan ini kita berhadapan dengan
beberapa ancaman bagi kesatuan dan persatuan bangsa kita, seperti gerakan anti-ideologi Pancasila, yang ingin menggantinya dengan ideologi agama, baik karena pengaruh
gerakan-gerakan ideologi transnasional, maupun yang berakar dalam sejarah Indonesia sendiri dari zaman pergerakan.

Selain mengandalkan jajaran aparat negara, masyarakat berharap secara khusus pada NU (dan Muhammadiah) untuk menangkal gerakan-gerakan yang mengambil bentuk perjuangan dari yang konstitusional sampai gerakan-gerakan radikal.

Salah satu bentuk counter terhadap gerakan-gerakan itu adalah memperkuat mutu pendidikan di kalangan generasi milenial, bukan saja penguasaan teknologi digital, tetapi juga pendidikan akhlak dan nasionalisme.

Di Makassar, pada bulan lalu, dalam kaitan Hari Toleransi Internasional, tanggal 16 November, kalangan interfaith menyelenggarakan seminar “Makassar Menuju Kota Toleran”.

Latar belakangnya adalah penelitian Setara Institut atas lebih 94 kota di Indonesia yang menemukan kota Makassar sebagai salah satu dari 10 kota paling intoleran di Indonesia.

"Saya yakin Makassar dapat menjadi kota modern dengan citra kemanusiaan yang adil dan
beradab jika lembaga agama berpengaruh seperti NU memberi perhatian pada isu-isu intoleransi lokal," katanya.

Sementara itu, Prof Dr Arifuddin Ismail mengatakan, selama ini kehadiran NU justru memunculkan respon yang variatif, baik di kalangan Nahdliyin dan non Nahdliyin.

"Dari kalangan Nahdliyin, banyak yang kurang puas dengan tampilan dan pemangku adat NU karena menganggap NU tidak menyahuti persoalan umat pada level akar rumput," katanya.

Selain itu, Prof Arifuddin mengatakan ada pihak merasa muak untuk orang-orang yang hanya berburu posisi di kepengurusan dan kepentingan pribadinya.

"Mereka justru tak mengurusi NU sebagaimana amanah para pendiri. Sementara itu, non NU selalu menganggap NU adalah penghambat kemajuan dan benteng tradisional yang menghalangi pemurnian ajaran Islam, makanya perlu dikikis alias dimusnahkan," katanya.

Sehingga, berangkat dari persoalan itu, maka ia mengajak kepada warga Nahdliyin bisa tampil mendukung untuk menjawab problem NU saat ini.

"Mari kita melakukan perbuatan nyata dan bermanfaat bagi umat, sehingga kiprah NU bisa jadi baik di mata umat," katanya.

Menurutnya, tuntutan di masa depan adalah bagaimana menunjukkan kesungguhan dan menumbuhkan kepedulian terhadap permasalahan kebutuhan umat melalui NU.

Ia berharap generasi muda NU bisa lebih bersaing di masa depan.

"Kita berharap NU tak ditinggalkan oleh pendukungnya. Kita tak mau NU ditinggalkan oleh pendukungnya supaya kita bisa mencerdaskan generasi muda NU," katanya.

Prof Arifuddin menyampaikan, masa depan adalah suatu kenyataan yang belum terjamah.

Sehingga, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian yakni perspektif kompeni, mengisi ruang-ruang publik, dan mencermati muatan kebutuhan.

Menurutnya, dalam aspek kompetensi, organisasi harus mengembangkan prinsip, the right man and the right place.

"Hal itu bisa dibangun dialog interaktif di kalangan petinggi organisasi menyamakan pandangan terkait kompetensi inti yang dibutuhkan," katanya.

Ia juga menganggap ruang publik menjadi ajang perebutan bagi organisasi yang berkaitan dengan pelayanan umat.

Dalam penutup dialognya, Prof Arifuddin menyampaikan NU adalah besar. Kehadirannya sejak awal sudah membawa umat menuju ke kehidupan yang lebih bermakna bagi agama bangsa dan negara. (*)


Catatan: tulisan ini sudah terbit di edisi cetak Tribun Timur, Minggu (29/12/2019). 

Subscribe my akun youtube: 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar

Mari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!