DEAR DIARY: AKU ADALAH PELACUR (16)

By Hamidah Foundation - 22.01



pengantar
Apa kabar pemerhati, penggemar dan kritikus novel. Hari ini kisah ini akan berlanjut. Setelah empat bulan tak bersua. Akhirnya kisah ini akan dilanjutkan oleh Zacky RA, teman Muhammad Hasim Arfah.

Kisah selanjutnya mungkin sangat berbeda. Tapi tetap akan dikonsultasikan dengan penulis awal mengenai alur dan setting cerita ini. Selamat menikmati lanjutan kisahnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Siang yang sangat menggerahkan tubuh dan batin. Hingga titik demi titik keringat mengucur membasahi meja. Dosen sudah dua jam memberikan ceramahnya. Namun tak satupun yang hinggap di kepalaku. Aku hanya memikirkan nasib ibuku. Tiap hari mukanya lesu. Kadang-kadang melamun sendiri. Ngelantur.

Aku sangat berdosa. Mungkin tak terampuni. Aku telah mengembalikan memori kisah kelam ibuku. Harusnya aku tak mengungkapkan. Aku sangat berdosa. Namun kutemukan juga kenyataan. Sebuah kenyataan yang sangat penting untuk aku ketahui. Misteri yang akan menuntungku pada rahasia terbesar keluargaku. Mengapa ibuku mempunyai anak laki-laki? Anak dari mana itu? Apakah dari Arif atau ayahku juga yang bernama Arif. Aku kan hanya mempunyai kakak perempuan, bernama April. Dia hanya setahun di atasku. Aku benar-benar sangat bingung. Siapa anak lelaki itu?  
***
Arif sudah jarang menyentuhku. Ia hanya pulang bersaling garmen. Sudah itu pergi lagi. Pamit pun tak pernah. Aku seperti tak pernah ada dalam hidupnya. Aku merasa sampah. Tak layak untuk disapa. Apalagi dicumbu. Arif telah bersaling rupa. Menjadi diri sebenarnya atau aku yang tak lagi menarik untuk dijadikan pendamping.

Tiap hari terus begitu. Aku mencoba menelusuri, mengapa ia bisa sangat berubah. Ibarat setan telah merasuki suamiku. Anakku pun tak pernah merasakan belaian seorang ayah.

Berulang kali aku ingin bercerai namun selalu tertahan. Tertahan akan lucunya anakku. Masa depan buah hati kami. Apa yang akan terjadi jika balita seperti dia tak punya ayah. Aku selalu menelan mentah-mentah semua perlakuan Arif. Aku berusaha untuk tetap tegar. Seumur hidup tak pernah berpikir akan seperti ini. Menjalani hidup penuh dengan kehampaan. Tak ada pertengkaran. Namun sakitnya bukan main. Serasa hidup tak berarti. Setiap hari aku merasa seperti tak punya suami. Aku pun berpikir untuk mengambil jalan berpisah. Arif sudah tak kupedulikan. Seperti  dia yang tak pernah menganggapku manusia apalagi istrinya.

Aku memang tak berguna. Hanya bisa mengurus anak dan rumah. Aku tak punya pekerjaan. Semua remeh-temeh iuran rumah tangga ditanggung oleh suamiku yang tak menganggapku, Arif. Namun rasa kesal dan amarahku tak bisa lagi aku simpan. Aku sudah bosan dengan kehampaan. Terpenjara dalam kehidupan yang semua orang sebut rumah tangga. Semua orang menganggap adalah tujuan untuk hidup. Namun aku menganggap ini tujuan ‘kematian’.

Setelah matang mengolah rasa maka aku putuskan untuk memotong tali antara kami. Aku dan Arif. Tak sempat lagi meminta saran dari keluarga. Amarahku benar-benar merusak semua pikiran positif.

Jam sudah menunjuk pukul 01.30. Arif belum juga pulang. Aku berniat akan bicara tentang rencanaku yang ingin bercerai. Persoalan harta gono-gini tak pernah aku permasalahkan. Biarlah setelah bercerai aku mencari sendiri jalan hidupku yang penting pengasuhan putraku aku dapatkan.

Arif sudah pulang. Seperti biasa. Kelakuannya tak pernah berubah. “Papa...aku mau bicara sama kamu, penting!” ucapku sambil menatap badannya yang kelelahan yang entah berbuat apa. Ia tak pernah menceritakan kerjanya selama ini.

“Apa? Kalau persoalan biaya listrik dan keperluan rumah, kamu ambil saja di rekening, banyak tuh!”

“Bukan pa...Aku ingin bercerai!”

Air muka Arif langsung berubah. Ia mendadak serius. Dan menatapku dalam-dalam. Aku tak bergeming dengan sikap dan reaksinya setelah mendengar kata-kataku. Aku sudah siap mental menghadapi apapun yang terjadi. Meski dia memukulku. Selama ini memang dia tak pernah memperlakukanku secara kasar.

Ia tak mengucapkan satu kata pun setelah aku mengeluarkan kata cerai itu.

“Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu. Nampaknya kamu tak mengerti keinginanku!” Jawabnya singkat.

Malam pun berlalu. Seperti tak terjadi apa-apa semalam. Padahal peristiwa besar terjadi semalam. Keputusan besar yang menjadi jejak sejarah kelam dalam hidup kami. Meruntuhkan rumah tangga. Hubungan yang kami jaling dari bawah. Namun harus runtuh sebelum maut memisahkan kami. Layu sebelum berkembang.

Aku merasa aneh. Biasanya jagoanku berteriak. Bahkan suaranya lah yang membangunkanku dari mimpi panjang. Pagi ini aku tak mendengarnya. Arif pun tak tahu entah kemana. Biasanya dia berangkat setelah aku bangun. Jejaknya  pun tak nampak. Apalagi rupanya. Aku merasa sendiri di dalam rumah gedong ini.

Oh...Tuhan. Bayiku tak ada. Lenyap bersama Arif.


Bersambung.......



JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAMKU!







  • Share:

You Might Also Like

0 komentar