pengantar
Apa kabar pemerhati, penggemar dan kritikus novel.
Hari ini kisah ini akan berlanjut. Setelah empat bulan tak bersua. Akhirnya
kisah ini akan dilanjutkan oleh Zacky RA, teman Muhammad Hasim Arfah.
Kisah selanjutnya mungkin sangat berbeda. Tapi tetap
akan dikonsultasikan dengan penulis awal mengenai alur dan setting cerita ini. Selamat menikmati lanjutan kisahnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Siang yang sangat menggerahkan tubuh dan batin.
Hingga titik demi titik keringat mengucur membasahi meja. Dosen sudah dua jam
memberikan ceramahnya. Namun tak satupun yang hinggap di kepalaku. Aku hanya
memikirkan nasib ibuku. Tiap hari mukanya lesu. Kadang-kadang melamun sendiri. Ngelantur.
Aku sangat berdosa. Mungkin tak terampuni. Aku telah
mengembalikan memori kisah kelam ibuku. Harusnya aku tak mengungkapkan. Aku
sangat berdosa. Namun kutemukan juga kenyataan. Sebuah kenyataan yang sangat penting
untuk aku ketahui. Misteri yang akan menuntungku pada rahasia terbesar
keluargaku. Mengapa ibuku mempunyai anak laki-laki? Anak dari mana itu? Apakah
dari Arif atau ayahku juga yang bernama Arif. Aku kan hanya mempunyai kakak
perempuan, bernama April. Dia hanya setahun di atasku. Aku benar-benar sangat
bingung. Siapa anak lelaki itu?
***
Arif sudah jarang menyentuhku. Ia hanya pulang
bersaling garmen. Sudah itu pergi lagi. Pamit pun tak pernah. Aku seperti tak
pernah ada dalam hidupnya. Aku merasa sampah. Tak layak untuk disapa. Apalagi
dicumbu. Arif telah bersaling rupa. Menjadi diri sebenarnya atau aku yang tak
lagi menarik untuk dijadikan pendamping.
Tiap hari terus begitu. Aku mencoba menelusuri,
mengapa ia bisa sangat berubah. Ibarat setan telah merasuki suamiku. Anakku pun
tak pernah merasakan belaian seorang ayah.
Berulang kali aku ingin bercerai namun selalu
tertahan. Tertahan akan lucunya anakku. Masa depan buah hati kami. Apa yang akan
terjadi jika balita seperti dia tak punya ayah. Aku selalu menelan
mentah-mentah semua perlakuan Arif. Aku berusaha untuk tetap tegar. Seumur
hidup tak pernah berpikir akan seperti ini. Menjalani hidup penuh dengan
kehampaan. Tak ada pertengkaran. Namun sakitnya bukan main. Serasa hidup tak berarti.
Setiap hari aku merasa seperti tak punya suami. Aku pun berpikir untuk
mengambil jalan berpisah. Arif sudah tak kupedulikan. Seperti dia yang tak pernah menganggapku manusia
apalagi istrinya.
Aku memang tak berguna. Hanya bisa mengurus anak dan
rumah. Aku tak punya pekerjaan. Semua remeh-temeh iuran rumah tangga ditanggung
oleh suamiku yang tak menganggapku, Arif. Namun rasa kesal dan amarahku tak
bisa lagi aku simpan. Aku sudah bosan dengan kehampaan. Terpenjara dalam
kehidupan yang semua orang sebut rumah tangga. Semua orang menganggap adalah
tujuan untuk hidup. Namun aku menganggap ini tujuan ‘kematian’.
Setelah matang mengolah rasa maka aku putuskan untuk
memotong tali antara kami. Aku dan Arif. Tak sempat lagi meminta saran dari
keluarga. Amarahku benar-benar merusak semua pikiran positif.
Jam sudah menunjuk pukul 01.30. Arif belum juga
pulang. Aku berniat akan bicara tentang rencanaku yang ingin bercerai.
Persoalan harta gono-gini tak pernah
aku permasalahkan. Biarlah setelah bercerai aku mencari sendiri jalan hidupku
yang penting pengasuhan putraku aku dapatkan.
Arif sudah pulang. Seperti biasa. Kelakuannya tak
pernah berubah. “Papa...aku mau bicara sama kamu, penting!” ucapku sambil
menatap badannya yang kelelahan yang entah berbuat apa. Ia tak pernah menceritakan
kerjanya selama ini.
“Apa? Kalau persoalan biaya listrik dan keperluan
rumah, kamu ambil saja di rekening, banyak tuh!”
“Bukan pa...Aku ingin bercerai!”
Air muka Arif langsung berubah. Ia mendadak serius. Dan
menatapku dalam-dalam. Aku tak bergeming dengan sikap dan reaksinya setelah
mendengar kata-kataku. Aku sudah siap mental menghadapi apapun yang terjadi. Meski
dia memukulku. Selama ini memang dia tak pernah memperlakukanku secara kasar.
Ia tak mengucapkan satu kata pun setelah aku mengeluarkan
kata cerai itu.
“Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu.
Nampaknya kamu tak mengerti keinginanku!” Jawabnya singkat.
Malam pun berlalu. Seperti tak terjadi apa-apa
semalam. Padahal peristiwa besar terjadi semalam. Keputusan besar yang menjadi
jejak sejarah kelam dalam hidup kami. Meruntuhkan rumah tangga. Hubungan yang
kami jaling dari bawah. Namun harus runtuh sebelum maut memisahkan kami. Layu
sebelum berkembang.
Aku merasa aneh. Biasanya jagoanku berteriak. Bahkan
suaranya lah yang membangunkanku dari mimpi panjang. Pagi ini aku tak
mendengarnya. Arif pun tak tahu entah kemana. Biasanya dia berangkat setelah
aku bangun. Jejaknya pun tak nampak.
Apalagi rupanya. Aku merasa sendiri di dalam rumah gedong ini.
Oh...Tuhan. Bayiku tak ada. Lenyap bersama Arif.
Bersambung.......
JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAMKU!
0 komentar