DEAR DIARY: AKU ADALAH PELACUR (17)

By Hamidah Foundation - 17.45


“gloomy sunday”

Hari itu Minggu. Suasana sekitar rumahmu sepi. Orang-orang bagaikan tertelan bumi. Lenyap entah kemana. Aku sendiri juga tak bernyawa. Nyawaku pergi bersama lelaki yang aku sebut suami. Ia membawa pergi ‘buah hatiku’ entah kemana. Aku tinggal sebatang kara. Tak ada suami. Seseorang yang mesti melindungi dan menawarkan pundaknya atas masalah dan keluh kesahku. Kini dia bagaikan buronan yang telah melakukan ‘kekerasaan’ terhadapku. Bahkan anak yang menjadi alasanku untuk tetap mau bernafas telah raib.

Tak ada yang tersisa. Semua hampa.

Semua barang pecah belah menjadi pelampiasanku. Hancur. Sumpah serapah sudah habis di otakku aku luapkan. Suaraku sudah parau. Aku berjalan di titian kehancuran. Aku teringat dengan sebuah lirik.

with shadows I spend it all
my heart and I
have decided to end it all

Soon there'll be prayers
and candles are lit, I know
let them not weep
let them know, that I'm glad to go

Death is a dream
for in death I'm caressing you
with the last breath of my soul
I'll be blessing you

Gloomy Sunday

Aku benar-benar dalam kekakuan. Bimbang. Biarkanlah lagu Gloomy Sunday ini menjadi malaikat kematianku. Mengantarkan jiwa yang kosong ini ke lubuk tergelap dalam hidup. Biarlah Tuhan merenggutku dari neraka yang aku sebut dengan kehidupan.

Piringan hitam aku ambil dari rak yang sudah tak berbentuk akibat hantaman kursi. Akibat kesalku kepada Arif. Aku pasang piringan hitam ini pada turntable. Suara berdecit memulai lagu kematianku.

Aku berjalan ke lantai dua. Diiringi dengan lagu kematian Gloomy Sunday. Langkah demi langkah telah aku jejal ke lantai dari marmer. Menuju tempat berakhirnya kesedihan dan penderitaanku di dunia ini. Tak ada yang bisa mempertahankan aku. Takdir telah menculik hartaku. Penculik itu telah mengambil Arif dan anakku.

Aku tak merasakan sakit tusukan pecahan kaca pada kakiku. Hanya kosong yang aku rasa. Hati dan pikiranku sudah kekeh mengatakan mati adalah jalan satu-satunya. Aku sudah bosan dengan penderitaan. Oh...Tuhan apakah ini nyata. Aku tak bisa lagi membedakan yang mana nyata dan halusinasi.

Seutas tali telah bergantung pas di depan kamar tidur kami. Aku, Arif dan anakku. Kamar yang menjadi saksi bisu kemesraan kami di awal menikah. Saksi atas kedinganan Arif terhadapku. Saksi perkebangan anakku menjadi seorang balita yang lucu dan sehat. Biarlah aku mati bersama kenangan ini.

Bagaimana aku bisa hidup lagi tanpa orang yang mencintaiku? Kisahku telah terbakar bersama kejadian di pagi buta ini.

Bangku aku ambil dari pojok. Tali telah siap menjadi malaikat kematianku dan kesedihanku. Aku mulai naik. Tali itu aku kalungka ke leherku. Tali yang akan menghapus semua perasaanku. Keberadaanku di dunia penderitaan ini.
Lagu Gloomy Sunday hampir berakhir. Aku ingin lagu ini menjadi suara terakhir yang aku dengar.

Dreaming, I was only dreaming
I wake and I find you asleep
on deep in my heart, dear

Darling, I hope
that my dream hasn't haunted you
my heart is telling you
how much I wanted you

Gloomy Sunday

It's absolutely gloomy sunday

Kakiku aku lepas dari kursi pijakan. Aku mulai merontah. Nafasku sesat namun serasa damai. Aku akan menghancurkan semua kenangan.

“Iblis..ambillah nyawaku.” Gumamku dalam hati.

Aku merasa gelap. Perlahan-lahan pendengaranku lenyap. Tubuhku lemas. Aku mulai merasakan jantungku tak berdegup. Kontraski otot tanganku melambat. Aku sepintas berpikir sebentar lagi aku akan mati. Selamat tinggal Arif, selamat tinggal anakku, Ibnu.
***
Ya..Tuhan apa yang terjadi dengan ibuku. Apakah dia benar-benar meninggal. Atau justru cerita di dalam diary ini bukan ibuku. Aku benar-benar membaca bahwa Ainulia tewas dalam gantungan. Lalu siapa anak ibu yang bernama Ibnu kenapa namanya mirip dengan temanku. Yang juga bernama Ibnu.


Bersambung....

Oleh: Zacky RA

JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAMKU!

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar