“gloomy sunday”
Hari itu Minggu. Suasana sekitar rumahmu sepi.
Orang-orang bagaikan tertelan bumi. Lenyap entah kemana. Aku sendiri juga tak
bernyawa. Nyawaku pergi bersama lelaki yang aku sebut suami. Ia membawa pergi ‘buah
hatiku’ entah kemana. Aku tinggal sebatang kara. Tak ada suami. Seseorang yang
mesti melindungi dan menawarkan pundaknya atas masalah dan keluh kesahku. Kini dia
bagaikan buronan yang telah melakukan ‘kekerasaan’ terhadapku. Bahkan anak yang
menjadi alasanku untuk tetap mau bernafas telah raib.
Tak ada yang tersisa. Semua hampa.
Semua barang pecah belah menjadi pelampiasanku. Hancur.
Sumpah serapah sudah habis di otakku aku luapkan. Suaraku sudah parau. Aku
berjalan di titian kehancuran. Aku teringat dengan sebuah lirik.
with
shadows I spend it all
my
heart and I
have
decided to end it all
Soon
there'll be prayers
and
candles are lit, I know
let
them not weep
let
them know, that I'm glad to go
Death
is a dream
for
in death I'm caressing you
with
the last breath of my soul
I'll
be blessing you
Gloomy
Sunday
Aku benar-benar dalam kekakuan. Bimbang. Biarkanlah
lagu Gloomy Sunday ini menjadi malaikat
kematianku. Mengantarkan jiwa yang kosong ini ke lubuk tergelap dalam hidup.
Biarlah Tuhan merenggutku dari neraka yang aku sebut dengan kehidupan.
Piringan hitam aku ambil dari rak yang sudah tak
berbentuk akibat hantaman kursi. Akibat kesalku kepada Arif. Aku pasang piringan hitam ini pada turntable. Suara berdecit memulai lagu kematianku.
Aku berjalan ke lantai dua. Diiringi dengan lagu
kematian Gloomy Sunday. Langkah demi
langkah telah aku jejal ke lantai dari marmer. Menuju tempat berakhirnya
kesedihan dan penderitaanku di dunia ini. Tak ada yang bisa mempertahankan aku.
Takdir telah menculik hartaku. Penculik itu telah mengambil Arif dan anakku.
Aku tak merasakan sakit tusukan pecahan kaca pada
kakiku. Hanya kosong yang aku rasa. Hati dan pikiranku sudah kekeh mengatakan
mati adalah jalan satu-satunya. Aku sudah bosan dengan penderitaan. Oh...Tuhan
apakah ini nyata. Aku tak bisa lagi membedakan yang mana nyata dan halusinasi.
Seutas tali telah bergantung pas di depan kamar
tidur kami. Aku, Arif dan anakku. Kamar yang menjadi saksi bisu kemesraan kami
di awal menikah. Saksi atas kedinganan Arif terhadapku. Saksi perkebangan
anakku menjadi seorang balita yang lucu dan sehat. Biarlah aku mati bersama
kenangan ini.
Bagaimana aku bisa hidup lagi tanpa orang yang
mencintaiku? Kisahku telah terbakar bersama kejadian di pagi buta ini.
Bangku aku ambil dari pojok. Tali telah siap menjadi
malaikat kematianku dan kesedihanku. Aku mulai naik. Tali itu aku kalungka ke
leherku. Tali yang akan menghapus semua perasaanku. Keberadaanku di dunia
penderitaan ini.
Lagu Gloomy
Sunday hampir berakhir. Aku ingin lagu ini menjadi suara terakhir yang aku
dengar.
Dreaming,
I was only dreaming
I
wake and I find you asleep
on
deep in my heart, dear
Darling,
I hope
that
my dream hasn't haunted you
my
heart is telling you
how
much I wanted you
Gloomy
Sunday
It's
absolutely gloomy sunday
Kakiku aku lepas dari kursi pijakan. Aku mulai
merontah. Nafasku sesat namun serasa damai. Aku akan menghancurkan semua kenangan.
“Iblis..ambillah nyawaku.” Gumamku dalam hati.
Aku merasa gelap. Perlahan-lahan pendengaranku
lenyap. Tubuhku lemas. Aku mulai merasakan jantungku tak berdegup. Kontraski
otot tanganku melambat. Aku sepintas berpikir sebentar lagi aku akan mati. Selamat
tinggal Arif, selamat tinggal anakku, Ibnu.
***
Ya..Tuhan apa yang terjadi dengan ibuku. Apakah dia
benar-benar meninggal. Atau justru cerita di dalam diary ini bukan ibuku. Aku
benar-benar membaca bahwa Ainulia tewas dalam gantungan. Lalu siapa anak ibu
yang bernama Ibnu kenapa namanya mirip dengan temanku. Yang juga bernama Ibnu.
Bersambung....
0 komentar