Mungkin
hari ini menjadi puncak rasa penat setelah beberapa minggu berada di
persimpangan jalan. Berpikir ingin bekerja sebagai apa? Sangat banyak masukan
dari berbagai pihak. Dua dosen yang dekat dengan penulis selama mengecap bangku
perkuliahan Strata Satu memberikan dua nasehat yang berlatar belakang beda. Satu
mengatakan jadilah seorang guru, karena sekarang peluangnya sangat terbuka.
Dosen satunya lagi mengatakan “kamu tunggu saja tahun depan, lanjut pasca
sarjana kemudian jadi dosen. Saya yakin kamu bisa menjadi dosen” harapnya.
Hal
inilah yang membuat penulis sangat gundah. Belum lagi tawaran senior di media umum
datang seiring berganti, tak putus.
Namun
saat ini memang yang sangat berpotensi yakni menjadi pengajar di daerah. Karena
selain jiwa mengajar penulis yang cukup besar. Kompetensi menjadi pengajar juga sudah
terasa selama 4 tahun bergelut dengan persoalan belajar untuk mengajar.
Terdengar
seperti sebuah judul buku terbitan Arends, Learning
to Teach. Memang buku ini mengupas tuntas aspek-aspek dan peta menjadi
seorang pengajar. Namun kompetisi menjadi wartawan juga sudah teruji selama 3 tahun bergelut di dunia pers mahasiswa. Hingga akhir penulis berada di persimpangan jalan. Memang inilah yang karib bilang, kita ibarat di persimpangan jalan.
Hingga
saat ini penulis kehilangan ide ingin berbuat apa? Ingin melakukan apa? hanya bisa berjalan mengikuti kehendak waktu. Kehendak yang di
atas. Kata teman sang pemilik kerajaan. Apakah dia meminjamkan kesempatan
menjadi pengajar atau menjadi wartawan. Entahlah kita hanya bisa pasrah dan
tawakkal saja, sambil berikhtiar.
Yang
teramat penting masalah akan datang menderah. Masalah itu menimbulkan dua pilihan. Kita hanya bisa bilang, “wahai
masalah Aku punya Tuhan jadi kamu tak akan mengombang-ambingku dan larut dalam
ketakpastian. Maka apapun keputusan Dia, maka akan aku terima dengan legowo dan siap saja.” (*)
0 komentar