Judul tulisan yang membuat penulis kebingungan
mencari titik temu antara keduanya. Namun kedua istilah ini sering kali memiliki
hubungan kausal yang kuat. Saling mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari
manusia.
Kejadian Jumat lalu memberikan penulis inspirasi
untuk menulis sebuah tulisan tentang hubungan kausal kesabaran dan lapar.
Seorang mubaligh memberikan khotbah jumat di kampus.
Hari terakhir penulis resmi menyandang status mahasiswa. Karena yudisium baru
terlaksana. Meski ujian sudah selesai beberapa bulan lalu.
Mubaligh itu terlihat biasa-biasa saja. Membuka
dengan doa dan puja kepada rasulullah Muhammad SAW. Selanjutnya ia meneruskan
rangkaian khotbah dengan bertanya. “Saya yakin dan percaya, tahun ini sudah ada
sahabat atau orang terdekat kita yang meninggalkan kita, apakah kita sudah
mempersiapkan untuk akhir perjalanan kita nanti?” tanyanya kepada jamaah shalat
jumat.
Kemudian dia kembali melanjutkan khotbahnya dengan berkata,
“Kita hidup di dunia ini hanya 60-70 tahun setelah itu kita akan kembali kepada
Allah, namun kenapa kita sering kali tak sabar, bandingkan dengan umat Nabi Nuh
yang mesti hidup 900 tahun.”
Memang sih
manusia memang hanya hidup sebentar di
dunia ini. Bahkan kata Allah dalam Al-quran hanya sehari. Namun itu butuh
kesabaran dalam menjalani. Untuk beribadah sepenuhnya kepada Sang pencipta ,
kita memang selalu tak sabar. Tak sabar mempelajari tuntunan-Nya, tak sabar duduk
berlama-lama mempelajari kitab-Nya. Selalu sibuk dengan urusan dunia. Selalu
punya beribu alasan untuk mengenal Allah. Padahal waktu kita di dunia hanya sekejap.
Mengapa kita tak bersabar?
Tak tahulah, setan selalu punya muslihat dan pintar
memanfaatkan kesempatan untuk membuat kita tersesat.
Maka penulis beranggapan kita selalu LAPAR. Lapar yang sebenarnya fana. Lapar yang menjadi senjata ampuh setan. Lapar akan harta, lapar akan jabatan, lapar akan pujian antar sesama. Sehingga persoalan menghamba selalu paling belakang, kerap kali ditinggalkan karena sibuk dengan urusan duniawi.
Selalu tak puas atau tak syukur dengan harta dan
kuasa yang dimiliki. Bahkan selalu ingin manambahnya lagi. Lagi. Dan lagi. Inilah
mungkin yang sering kita sebut candu. Ada kenikmatan dan kenyamanan di
dalamnya. Membuat seseorang lupa akan adanya tugas utama, yakni beribadah pada
Allah SWT.
Ibadah memang mempunyai makna yang
multiinterpretatif. Bukan hanya melakukan sembahyang atau salat semata. Melakukan
hal-hal kebaikan pun bisa dikatakan ibadah. Ibadah yakni manusia melakukan
penghambaan kepada Tuhannya. Jadi mesti ibadah itu dilakukan karena Tuhannya. Apabila
tak ada niat karena Tuhan, maka itu bukan ibadah.
Namun orang-orang yang meninggalkan salat karena
menganggap ibadah bukan hanya persoalan salat, maka itu juga tak benar. Karena
persoalan salat sudah diatur di dalam kitab suci umat Islam. Dan itu wajib.
Kalau dipikir memang susah beribadah secara khusyuk
di jaman sekarang. Godaan semakin saja tak terkendali. Apalagi fenomena tsunami
informasi menerjang kita 24 jam. Tak peduli itu dosa, mubah dan makruh untuk
kita dengar dan tatap. Jika pondasi imam kita tak kuat maka yakin dan percaya
hempasan itu akan mengombang ambing kita. Kemudian tersesat dan tujuan hidup
semakin jauh dari Tuhan. Apalagi pemegang kekuasaan tak menggunakan hukum Tuhan
maka semua kebijakan pasti bisa dimanipulasi dan muslihatkan.
Pembahasan kita memang terkesan sangat Islamisasi
sekali. Tapi bukankah Islam telah mengatur semua aspek kehidupan. Baik hubungan
antar manusia terlebih hubungan dengan pencipta. Bukankah apabila kita
mengikuti tuntunan itu, maka layakkah kita disebut Islam? Atau agama hanya
ditempatkan layaknya sebuah benda keramat, yang digunakan hanya saat menyembah
Tuhan. Penulis kira Tuhan itu berada dalam setiap aspek kehidupan kita. Lalu
mengapa kita hanya taat secara parsial.
Kita selalu menutup mata dan menutup hati akan hukum Tuhan. Selalu menganggap urusan Tuhan itu urusan personal, negara tak boleh mencampurinya. Namun bukankah Muhammad telah mencontohkan bahwa pemegang kekuasaan berhak dan wajib mengatur kehidupan masyarakat.
Sekali lagi mengapa kita tak sabar akan perintah
Tuhan yang menyuruh kita menyembah Dia secara massif selama 60-70 tahun saja. Inilah
pertanyaan besar yang hanya bisa dijawab dengan melakukan pencarian dan mencoba
menghadirkan Tuhan dalam aktivitas kita sehari-hari.
Memang sangat susah menghadirkan Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari, karena kita selalu menganggap Tuhan tak memperhatikan
kita, tak memberikan nikmatnya. Bukankah perhatian Tuhan sangat besar. Maka
sedikit saja nikmat dan perhatian itu dicabut maka kita tak ada apa-apanya. Maka
bersabarlah, lakukan perintah-Nya, maka saat kita bertemu dengan dia kita bisa
berkata,” Aku kembali setelah melakukan perintahmu, yakni menyembah dan menjalankan
perinah-Mu!”. (*)
0 komentar