Aku akhirnya berani
bertanya kepada ibuku. Aku mulai dengan bertanya ringan dan curhat kepada ibu. Aku
menceritakan hubungan persahabatanku dengan Ibnu. Ia sangat penasaran hingga
tak jarang menggodaku. “Kamu jadikan aja Ibnu sebagai pacar, kamu dekat sekali
dengan dia yah,” goda ibu.
Tawa pun pecah
antara kami. Obrolan perempuan yang sangat cair. Kami ibarat dua sahabat. Aku
pun mulai bertanya mengenai masa kuliah ibu. Dia memulai bahwa dia dulu
mempunyai teman yang sangat baik dan akrab dengannya. Raya dan Erni adalah sahabat
ibu. Ia banyak bercerita tentang kisah sedih dan piluh dengan kedua karibnya.
Tak ada yang meleset dari buku diary-nya.
Semuanya benar. Aku ibarat membaca dua kali kisah ibu. Mulai dari kisah tragis
Erni yang sampai sekarang menghilang, Cerita manis KKN di Parepare, hingga
bertemu dengan ayah.
“Bagaimana dengan
kisah cinta ibu. Siapa yang berhasil mencuri hati ibu?” celetupku.
Muka ibu memerah
dan terdiam. Kemudian air menetes di ujung mata ibu. Tertunduk. Aku malah ikut
sedih. “Mengapa ibu menangis? apa Lisa melukai hati ibu?” tanyaku cepat.
“Maaf bu...karena
aku, ibu sedih,”
“Tak apa nak...aku
hanya mengingat masa sedih dulu. Masa yang ingin aku buang jauh-jauh. Namun aku
kembali mengingat memori kelam itu nak,” ungkap ibuku.
“Memang memori apa
yang ibu ingin hilangkan?” tanyaku.
“Baiknya, kamu tak
tahu nak. Biarlah aku simpan untuk diriku sendiri. Biarlah perih ini aku
tanggung karena ini adalah jalan hidupku. Aku tak akan pernah menceritakan
kepada anak-anakku. Termasuk kamu. Biarlah aku dan ayahmu yang tahu!” tutup
ibu.
Ibu pun berlalu.
Tak sempat aku menanyakan teman ibu A.B. Nasution. Namun aku pun menghentikan
langkah ibu. “Bu...ayah Ibnu minta salam pada ibu namanya A.B. Nasution,”
teriakku.
Air mata ibu semakin
deras saja. Aku sudah mengira bahwa ayah Ibnu ada kaitannya dengan masa lalu
ibu. Kisah yang mungkin siapapun tak ingin diketahui meski itu orang terdekat. Tapi
siapa nama ayah Ibnu. Aku juga tak tahu. Kini kuberanikan bertanya kepada Ibnu.
Mungkin dia tak akan curiga.
Nomor telpon Ibnu aku
cari di smartphone-ku. Langsung saja
aku telpon dia dan mengobrol tentang kuliah supaya dia tak curiga. Lama aku
mengobrol, mungkin sekitar 30 menit. Akhirnya aku masuk ke pembahasan kabar ibu
dan ayahnya.
“Baik. Ibu selalu
menanyakan kamu, kata dia kamu sering-sering berkunung ke rumah,” jawab Ibnu.
“Aku mau tanya,
memang apa sih nama depan ayahmu, pakai disingkat-singkat malah, Andi Muhammad
Nasution yah? hehehe,”
“Oh... memang apa
sih yang penting, kamu tanya-tanya segala, namanya depannya tuh, Arif Muhammad
Nasution. Ayah asli orang Parepare,” jawabnya curiga.
Hala....ha... Arif...memang
ayahku yang sekarang bukan Arif yah. Padahal nama ayahku juga bernama Arif.
Apakah Atif yang sekarang bukan yang diceritakan ibu dalam diary-nya. Aku makin
bingung saja dengan kisah ini. Aku jadi frustasi dengan kisah ibu. Oh Tuhan apa
yang terjadi dengan keluargaku. Apakah aku harus mendengar kata ibu yang tak
mengetahui kisah masa lalunya. Masa kelam perjalanan seorang perempuan yang aku
sebut ibu.
Bersambung DEH....
JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAMKU!
0 komentar