Bajunya lusuh. Rambutnya
acak-acakan. Sebuah kardus kecil di tangannya. Namanya Alif. Ia menenteng
kardus itu kemana-mana. Meminta kepada siapapun yang dia temui.
“Minta uangnya pak.”
Saat itu juga lelaki
itu mengeluarkan seribu rupiah. Senanglah Alif. Berlari kegirangan.
Namun seorang bapak
lainnya menegur si pemberi uang. “Perlakuan bapak dengan memberikan uang kepada
si anak itu tak akan menyelesaikan permasalahan. Ia akan tetap mengemis.
Benar sekali. Penyataan
si bapak memang benar. Namun apakah haram jika kita berbagi dengan sesama. Apalagi
tangan-tangan pemerintah tak menyentuh mereka. Jika pemerintah bertindak pasti
tak akan ada pengemis. Apalagi mereka adalah bocah. Mereka seharusnya menikmati
masa kecil dengan belajar dan sekolah. Namun nasib membuat mereka tak bisa menikmati
masa sekolah. Mereka harus turun ke jalan, mengemis. Karena tak ada tempat yang
bisa mempekerjakan mereka.
Banyak spekulasi yang
berkembang alasan anak-anak ini menjadi pengemis. Seperti preman yang
menjadikan mereka sebagai pengeruk uang, orang tuanya menyuruh mereka mencari
uang dengan jalan ini, persoalan finansial yang kurang memadai hingga inisiatif
mereka sendiri untuk mendapat sesuap nasi.
Namun penulis berpikir
di sinilah peran pemerintah yang kurang. Lembaga sosial yang dibentuk belum
dapat mengentaskan kemiskinan secara holistik dan komprehensif.
Cara pemerintah yang
menggunakan sistem birokrasi yang rumit memang tak relevan lagi dengan keadaan
masyarakat sekarang. Penduduk mengalami sebuah kondisi yang dinamakan the new era sociality. Era dimana
penduduk semakin susah untuk bekerja sama tanpa ada keuntungan material, seorang
tak mau lagi bekerja keras, selalu mau instan, pragmatis, individualis, dan
ketidak jujuran merajalela.
Membiasakan yang biasa
bukan membiasakan yang benar.
Revolusi peran pemerintah
Peran pemerintah
sekarang memang sudah waktunya mengalami perubahan total. Pemerintah seharusnya
tak lagi sungkang untuk turun langsung ke masyarakat. Hidup sederhana. Menanggalkan
gengsi dan ingin bersifat sebagai raja. Memberikan contoh konkret tentang cara hidup
yang benar kepada masyarakatnya.
Kita masih ingat dengan
para pemimpin politik Madinah pada awal Islam berdiri. Mereka memimpin dengan
mengutamakan kesejateraan dunia dan akhirat rakyat. Mereka hidup sederhana. Membentuk
baitul mal untuk kebutuhan masyarakat. Mereka lebih memilih
mencari nafkah dengan cara berdagang. Tak mengambil sepersen pun dari baitul mal. Bahkan mereka menyumbangkan hampir
semua harta untuk rakyatnya. Tak peduli mereka itu beragama apapun-Yahudi,
Kristen, dan Islam. Berlatar belakang ras berbeda.
Mereka tak menunjuk anak
atau istri untuk menggantikannya setelah pemimpin telah tiada. Nabi Muhammad
tak meninggalkan wasiat kepada siapapun untuk menggantikan dia. Baik itu harta
dan takhta.
Nabi selalu selalu
bekerja untuk kebenaran bukan berdasarkan nafsu dan kepentingan diri sendiri. Nabi
menciptakan sebuah tatanan sosial politik yang diciptakan secara bersama-sama bukan
secara ad hoc. Sehingga keputusan
yang ada tak berubah-ubah sesuai dengan kemauan pemimpin. Hal ini yang menjadi
dasar pembentukan konstitusi yang berlaku hampir di semua negara di dunia.
Fondasi kepemimpinan yang
ditetapkan Nabi kita sebut sebagai Piagam Madinah. Konstitusi inilah yang
digunakan sahabat seperti Abdullah bin Quhafah at-Tamimi (Abu Bakar as-Shiddiq)
dan Umar bin Khattab sebagai “kompas” menjalankan pemerintah selepas nabi
mangkat.
Mereka mencontoh
kepemimpinan Nabi dalam setiap sendi hidup.
Bukankah sepatutnya
seorang pemimpin juga menjadi manusia yang betul-betul memperhatikan rakyatnya,
tak berfoya-foya, bermegah-megah, memperkaya diri, dan berlaku adil. Kalau
pemimpin tak demikian maka untuk apa rakyat memilih mereka?
Hal ini terjadi karena
sekali lagi pemimpin membiasakan yang biasa tak membiasakan yang benar.
Jika cara-cara memimpin
nabi yang diterapkan maka dengan rahmat Tuhan, tak ada lagi anak bernasib
seperti Alif, tak akan ada lagi penderitaan, ketidakadilan di muka bumi ini. Selamat
memilih pemimpin Anda. (*)
0 komentar