Selama ini penulis
meyakini bahwa agama islam adalah dogma. Kepercayaan atau doktrin yang dipegang
oleh sebuah agama. Bukti, analisis, atau fakta mungkin digunakan, mungkin
tidak, tergantung penggunaan. Namun makin hari setelah banyak membaca buku dan
referensi akhirnya penulis mendapat pencerahan. Islam adalah sebuah jalan
menuju Tuhan yang rasional yang bisa dibuktikan dengan cara berpikir ilmiah, masuk
akal dan universal. Lebih daripada dogma.
Orang-orang yang
membenci Islam saat ini hanya mengenal Agama ini dari orang-orangnya. Dari
penganutnya yang belum tentu juga paham mendalam mengenai Islam. Banyak
golongan menganggap bahwa mereka yang benar. Keselamatan berada di tangan
mereka.
Kiblat ber-Islam seorang
penganut memang mengarah ke golongan tertentu. Hingga mereka fanatik dan
mengecam golongan yang lain sesat dan menyesatkan.
Bahkan penganut agama
mayoritas dan diakui oleh negara tak jarang membunuh seorang penganut yang
berbeda dengan pemahaman golongan ini.
Alkisah pada masa
kepemimpinan Khalifah Bani Abbasiyah, Al-muqtadir
Billah, memerintahkan algojo Abut Haris
untuk melakukan eksekusi hukuman mati kepada Al-Hallaj, seorang sufi besar yang pernah dimiliki dunia Islam. Ia
akhirnya dihukum pancung setelah dipenjara selama delapan tahun. Al-Hallaj dituduh kafir atas pendapatnya.
“Ana Al-haq” (Aku adalah kebenaran) atau Ana
Al-lah (Aku adalah Allah). Ucapan kesufiannya inilah menghadapkan Al-Hallaj
ke tiang gantungan. Kejamnya lagi, usai melaksanakan ekskusi itu, tubuh
Al-Hallaj dibiarkan membusuk di atas tiang gantungan.
Menurut Said Agil
Al-Munawar, Kasus Al-Hallaj
menggoreskan kepedihan mendalam pada nurani sejarah. Kematiannya memercikkan sentimen
publik tentang perebutan makna dan hak istimewa “atas nama Tuhan” untuk
mematikan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat.
Kasus yang sama pula
dialami oleh Syekh Siti Jenar. Ia dianggap menyimpang oleh pengikut wali songo
dengan mengatakan “manunggaling kawulo lan Gusti” yaitu, “bersatunya manusia
dengan Allah”.
Naas ulama ini mengakhiri
kematiannya sendiri karena tak ingin pertumpahan darah terjadi antara sesama penganut
Islam kala itu.
Terkadang umat Islam
menghalalkan pembunuhan dengan mengikutikan nama Tuhan di dalamnya. Padahal tak
ada legitimasi untuk menghukum seseorang bahkan membunuh atas nama Tuhan. Semua
berbicara ”atas nama Tuhan” yang justru Tuhan melarang perbuatan mereka yang
membunuh dan menindas manusia lainnya.
Penganut Islam seakan-akan
pahlawan yang menganggap Tuhan tak berdaya hingga harus dibela. Tuhan bagaikan korban.
Hingga untuk persoalan membunuh menjadi halal jika membela agama Tuhan. Sudah
cukup darah dan penderitaan umat manusia tumpah membela Tuhan.
Bukankah lebih baik
jika kita mengurus perilaku masing-masing. Jangan sampai curiga dan membenci
justru akan membawa kita masuk ke dalam penderitaan yang sesungguhnya akhirat
kelak. Jangan sampai! (*)
0 komentar