“Mau ke Toraja?”
“Kapan?” jawabku ragu.
“Hari ini. Sekarang juga.”
“Ah gila…saya belum ada persiapan nih. Uang cuman
untuk sekali jalan.”terkaku cepat.
“Saya juga tak ada uang. Acaranya asik loh. Nanti
kita pikir masalah tempat dan makannya di sana.”jelas Iyan. Teman dari LPPM
Profesi UNM.
Itulah percakapan sebelum melajukan motorku ke
Tana Toraja dan Toraja Utara. Percakapan yang asal namun berefek menjadi
pengalaman yang susah untuk dilupakan. Seperti kata Gubernur Sulawesi Selatan
Syahrul Yasin Limpo. “Jangan mati dulu sebelum mengunjungi Toraja.”
Perjalanan ke Toraja memang sangat lama dan melelahkan.
Jarak sejauh 300 KM mesti kami tempuh dengan sepeda motor. Praktis, mesti
menghemat tenaga dengan banyak singgah di rumah kerabat atau fasilitas umum seperti masjid.
Kamis, 26 Desember, saya dan Iyan berangkat menuju
Tana Toraja. Habis Salat Ashar kami mulai menempuh jarak ratusan kilo meter
menuju daerah dengan budaya upacara kematiannya atau rambu solo’.
Pukul 18.00 kami tiba di Kabupaten Pangkep. Siang
sudah berganti dengan malam. Mengisi perutpun kami lakukan di rumah keluarga. Setelah menyantap makanan, perjalanan malam pun segera dimulai. Butuh
tiga jam untuk sampai di pegunungan Kabupaten Enrekang. Jalur kami alihkan dari
rute Maiwa. Shortcut ini Pinrang. Setelah melewati Kota Pinrang akan ada jalan menuju Enrekang
di Desa Mallaga. Beberapa jam menyusuri jalan yang cukup mulus namun sesekali tertahan oleh gundukan aspal. Tak cukup satu jam, kami pun sampai di Kecamatan Cendana,
Enrekang.
Kabupaten ini memang dingin karena berada jauh di
atas laut sekaligus indah karena pemandangan pegunungan di segala arah. Kami
menghabiskan semalam di Desa Lebang, Cendana. Adalah rumah bibi Iyan yang kami
tinggali. Jalan menuju kediaman ini cukup mengejutkan. Jembatan gantung sepanjang 40
meter membelah Sungai Saddang mesti kami lewati. Cukup membuat takut ketika
melewatinya karena terus tergunjang dan berayun. Semakin ke tengah ayunannnya
semakin jauh. Belum lagi kondisi gelap. Hanya mengadalkan penerangan smartphone. Praktis lubang jembatan
susah terlihat. Apalagi, kata Iyan, sungai ini sangat dalam. Penduduk di desa
ini tak pernah ada yang bisa menjangkau dalam sungai yang diabadikan sebagai
jalan di Kota Makassar.
Semalam kami habiskan mengumpulkan tenaga di lokasi ini. Desa yang menjadi salah satu sentra Dangke. Makanan khas yang terbuat dari
susu sapi atau kerbau. Hampir semua rumah membuat makanan kaya protein ini.
Setelah matahari setinggi tombak kami pun bersiap
melanjutkan perjalanan. Makale, Ibu Kota Tana Toraja, sejauh 60 KM dari desa
ini. Butuh perjalanan paling kurang dua jam dengan rute yang berkelok-kelok.
Itupun kalau tak hujan pasti perjalanan makin lama.
Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dan
“menghabiskan” pemandangan eksotik Gunung Nona, perkebunan bawang merah, hutan
yang asri, kami pun sampai di pintu gerbang Toraja. Sebuah rumah Tongkonan
menyambut kami.
Motor berhenti sejenak. Iyan sibuk mengotak atik
smartphone-nya hingga mencari sebuah
kontak yang akan memberikan kami tumpangan hotel. Setelah bertanya spot yang
menarik maka motor pun kami tancap menuju Alang-alang di Toraja Utara. Jaraknya
masih 36 KM tertulis di tapal batas.
Masuk kawasan Toraja langsung terasa setelah
melewati perbatasan. Gereja dan rumah adat Tongkonan menyambut.
Multiculture
in Toraja
Hampir dua jam motor baru sampai di lokasi. Kami
memang perlambat karena ingin melihat-lihat daerah ini. Mayoritas penduduk
Toraja memang beragama Kristen namun masih memegang adatnya.
Mesti agama pemberian Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ini membahana di seantero
tanah ini tak serta merta mengubah kebudayaan mereka. To Riaja sebutan pertama oleh orang Bugis yang berarti orang yang
berdiam di negeri atas. Namun 1909, Pemerintah Kolonial Belanda mengubah
menjadi nama yang kita kenal sekarang, Toraja.
Cukup aneh melihat adat daerah ini. Penduduk yang
beragama nasrani melakukan kegiatan animisme Aluk To Dolo, menurut pemerintah, adalah kegiatan keagamaan Agama
Hindu Dharma.Beragama kristen namun melakukan kegiatan keagamaan Budha.
Mungkin inilah akibat dikeluarkannya sebuah dekret
presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari
lima agama pada tahun 1965.
Kepercayaan orang-orang sini memang sampai sekarang
tak diakui sebagai agama sendiri. Politiklah yang menentukan agama seseorang
bukan keyakinan masing-masing individu.
Rambu
Solo’
Beberapa menit menginjakkan kaki di Alang-alang,
Toraja Utara. Seorang teman, Yayu datang memberitahukan bahwa ada upacara Rambu Solo’ di ujung desa ini.
Langsung saja motor kami arahkan ke area tersebut. Tak
jauh beberapa langkah dari lokasi. Suasana berkabung dapat kami lihat. Semua orang
yang mengunjungi lokasi ini berpakaian serba hitam. Memasuki gerbang sudah disuguhi pemadangan babi liar terikat dan beberapa sudah menjadi potongan-potongan kecil.
Bau anyir menyeruap dari tengah lapangan. Staring
at the carnage. Kami melihat maut babi berada diujung pisau penjagal. Dengan
tanpa ragu penjagal menancapkan pisau pada leher si babi. Teriakan hewan
ummivora ini langsung memekitkan telinga. Tanda ajalnya sudah mendekat. Tak
butuh waktu lama lapangan ini menjadi merah darah. Mungkin ratusan babi sudah mereka
kurbankan untuk acara berbiaya mahal ini. Bahkan seorang warga yang kami temui
mengatakan semua anak-anak si mayit memang disuruh mencari uang untuk acara
kematian di orang tua. Maka tak jarang mayit bisa berbulan-bulan tak dikubur
karena menunggu si anak atau sanak keluarga mengumpulkan dana supaya upacara rambu solo’ dapat terlaksana.
Acara kematian ini memang terbilang horor karena menampilkan kebiasaan yang
membuat bulu kudu merinding. Pembantaian hewan yang sangat banyak. Bayangkan
saja, hewan yang dipotong secara bersama-sama tanpa diikat. Kerbau yang sudah teriris
dengan pisau berlari dengan darah muncrat dari lehernya . Merontah. Menambrak apapun di
depannya. Hampir saja Iyan kena seruduk kerbau yang merontah. Bahkan ada seekor
kerbau berlari ke jurang. Pemandangan yang mengerikan sekaligus mencengakan.
Besar kecilnya rambu
solo’ menunjukkan kelas sosial seseorang. Bisa ratusan kerbau menjadi
kurban jika si mayit adalah seorang bangsawan.
Teman
Baru
Bukan hanya melihat langsung budaya Toraja yang kami
nikmati. Kami pun mendapatkan teman baru. Yayu adalah orang yang memberikan
kami tumpangan menginap. Orang cukup nekat. Tak sungkang ceplas-ceplos meski bertemu dengan orang baru. Pantas dia banyak
teman. Apalagi kemampuan berbahasa inggrisnya hebat.
Di sana pun kami berkenalan dengan Wirawan Winarto,
seorang backpackers asal Jakarta. Seorang
programmer Microsoft. Ia telah menelusuri 33 provinsi Indonesia dan mengunjungi
tak kurang dari 30 negara. Ia banyak bercerita tentang cara menyusuri negara-negara
asia tenggara dan kebudayaan di setiap negara yang dia kunjungi.
“Kalau di Toraja kerbau di potong secara adat maka
di Kamboja ada sapi ditembak dengan basoka,” katanya. Setelah ia mengatakan itu
kami pun tertawa terbahak-bahak.
TIF
sebagai Penarik Pengujung
Perjalanan menyusuri area Toraja memang menakjubkan
karena ada dua kegiatan besar yakni Lovelly Desember dan Toraja International
Festival. Kami memang telat menghadiri Lovelly December. Kegiatan ini memang
hanya diisi dengan kebudayaan asli Toraja.
Untung ada kegiatan yang memang sangat menarik yakni
Toraja International Festival. Kegiatan ini menampilkan musisi-musisi dari
berbagai negara. Sebagai penikmat musik, festival yang menghadirkan musik dan
kebudayaan cukup membuat kagum. Belum lagi acara ini cukup panjang yakni
tiga hari. Acara yang dihadirkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif ini memang penarik turis baru di Toraja. Menurut ibu menteri Mari Elka
Pangestu, kegiatan serupa akan dihelat Juni mendatang.
Perjalanan ini memberikan khazanah baru memandang
hidup serta nilai-nilai kehidupan. Semoga bisa melakukan perjalanan lain kali
di daerah yang berbeda.(*)
0 komentar