Bangsa Indonesia, Sadarlah!

By Hamidah Foundation - 05.05

MASIH belum kering di ingatan peristiwa kekerasan pemuda di Makassar yang menewaskan 2 mahasiswa. Kini muncul lagi kekerasan pemuda yang lagi-lagi meminta tumbal.

Kekerasan ini bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2012 lalu. Tawuran antar dua kelompok pemuda melibatkan warga kompleks Kusta dan kompleks Rotas di Jalan Dangko, Makassar. Akibatnya tiga orang terluka, seorang polisi dirawat di rumah sakit dan seorang wartawan terkena busur.

Selain di Kota Makassar, kekerasan juga terjadi di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung yang melibatkan pemuda Bali Nuraga Kecamatan Way Panji dengan warga Desa Agom Kecamatan Sidomulyo. Akibatnya tiga warga tewas dan dua luka berat.

Kekerasan ini pun masih berlanjut sehari kemudian yang menyebabkan tiga orang kembali tewas.

Dari data terakhir sudah 14 orang yang meninggal. Hingga kini suasana di Kabupaten Lampung Selatan masih mencekam. Kaum perempuan dan anak-anak masih takut untuk kembali ke rumahnya masing-masing.

Motif terjadinya tawuran ini masih simpang siur, ada yang mengatakan hanya masalah sepele, bersinggung perasaan dan masih banyak lagi alasan yang tak jelas, yang jelas tawuran ini melibatkan antar dua etnik.

Jika itu hanya masalah sepele mengapa mesti dibesar-besarkan? Apakah sebanding alasan tersebut dengan korban jiwa yang jatuh? Apakah hanya dengan bersinggungan perasaan sebanding dengan terbunuhnya orang? Apakah pihak yang pelaku tawuran merasa untung jika merusak, melukai atau bahkan membunuh seseorang sebagai ajang untuk melampiaskan sakit hati? Semua pertanyaan ini ada baiknya diskusikan bersama.

Namun apapun motif tawuran antar pemuda ini menghasilkan kesimpulan yang sama yakni korban jiwa dan material.

Sebagian besar paradigman pemuda sekarang adalah apabila ada permasalahan mesti di selesaikan secara “jantan” yakni dengan adu kekuatan yang tak jauh dari cara-cara kekerasan.

Menurut saya cara-cara kekerasan bisa diambil jika permasalahan itu bersangkutan dengan permasalahan bangsa. Namun definisi bangsa sekarang dipandang sempit yakni jika sudah tak satu suku misalnya suku Makassar maka kita tak satu bangsa. Padahal bangsa Indonesia itu luas, mencakup dari Sabang hingga Marauke bukan hanya dalam kabupaten apalagi desa.

Tak ada salahnya mencontoh bangsa lain yang multietnis, multiculture dan banyak agama.

Amerika Serikat pernah mengalami permasalahan suku yakni antara kulit putih dan kulit hitam namun sekarang sudah dapat terselesaikan. Hingga terpilihnya presiden yang berasal kulit hitam pertama, Barack Obama, yang menunjukkan toleransi antar suku.

Berbicara tentang perselisihan antar suku, di negeri ini memang sudah sering. Poso, Maluku, Kalimantan Tengah porak-poranda dengan perselisihan antar etnis ini. Bahkan Poso pun kembali bergejolak saat ini dengan ditemukannya dua anggota polisi terbunuh.

Permasalahan etnik memang menjadi rentetan sejarah yang buram dalam perjalanan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia terkhusus pemuda mesti berpikir perilaku tawuran bukan lagi zamannya.
Permasalahan yang diselesaikan dengan jalan kekerasan memang harus sudah dihentikan. Sangat banyak permasalahan bangsa yang lebih membutuhkan pemikiran bersama. Pemuda mesti berpikir maju.


Perang sesungguhnya adalah menjadikan bangsa Indonesia terpandang, maju dan masyarakatnya sejahtera. Globalisasi adalah tantangan bangsa ini yang sebenarnya. Sampai kapan kita akan terus tenggelam dalam perilaku primitif?


Baca juga di Tribun Timur.com edisi 6 November 2012.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar