Sulawesi Selatan Butuh Pemimpin Visioner (Catatan Menuju Pemilukada Gubernur Sulsel)

By Hamidah Foundation - 21.55


“Padahal, ada yang lebih baik, yaitu jika kita berbuat semata-mata demi kebaikan, menyadari hal itu benar, tanpa memedulikan apa akan mempersulit diri sendiri atau bagaimana sikap orang lain.” Stephen R. Covey, penulis buku 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif.

Untuk menjadi pemimpin yang visioner, Stephen R. Covey mengajak kepada kita untuk berpikir lebih dalam, pemimpin itu juga akan mati dan semua sepak terjangnya ketika memangku jabatan akan dipertanggungjawabkan. Rakyat yang Dia pimpin akan memberikan penilain atas apa yang telah mereka rasakan. Apakah memuji, mencela atau bahkan menghardik.

Tapi bukan penilaian rakyat yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin tapi apakah mereka telah berbuat hal-hal yang benar untuk kebaikan. Mahatma Gandhi bukan hanya sosok pemimpin politik yang berhasil membawa India bebas dari cengkraman Inggris, tetapi juga ia menjadi simbol kekuatan spiritual. Gandhi percaya bahwa ahisma, tanpa kekerasan, amat penting untuk mencari kebenaran. Menyerang lawan dengan menjelek-jelekkan ataupun membuka aib seseorang akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Gandhi hidup sederhana, tidak egois. Tak sedikit pemimpin yang gila harta dan jabatan justru terjungkal. Meski mereka sesungguhnya sudah kaya dan berkuasa namun tetap merasa miskin dan tidak punya kuasa. Joko Widodo mungkin mempunyai ciri-ciri Gandhi. Bekerja untuk kebaikan dan diyakinikan juga oleh dirinya sendiri. Kita merindukan sosok pemimpin seperti mereka. Bekerja untuk kebaikan.

Bagi saya pemimpin adalah teladan. Jika seorang calon pemimpin diterpa isu-isu negatif maka jalan satu-satunya adalah marah. Namun kemarahan ini meski mereka ubah menjadi kasih sayang. Energi negatif ini mereka ubah menjadi energi positif. Malcolm X pernah mempraktikkan hal tersebut dan berhasil.

Jika sudah menjadi motor penggerak perubahan positif. Maka sekarang persoalannya adalah bagaimana energi positif itu sampai ke rakyat. Jawabannya adalah konsisten. Jika terus konsisten maka energi ini akan mengkristal dan terpatri ke dalam hati dan jiwa rakyat. Membiasakan diri dan rakyat akan gaya kepemimpinan yang visioner dan revolusioner menurut kebaikan yang benar. Seorang pemimpin mesti rendah hati, mensyukuri atas apa yang diberikan Tuhan. Menjadikan pekerjaan ini sebagai calling finding atau panggilan jiwa. Pemimpin dipilih oleh Tuhan, rakyat adalah tangan Tuhan.

Bahaya Kekuasaan
Ada sebuah kisah dari negeri tirai bambu, seorang gubernur di Tiongkok (dinasti tang), bernama Pai Le-tien melihat biksu melakukan meditasi di atas pohon. Rahib terkenal dengan nama Niao-ke ‘Sarang Burung’. Gubernur Pai berkata: Alangkah bahayanya engkau dengan kedudukan seperti di atas pohon.” Niao-ke menjawab. “Kedudukanmu jauh lebih berbahaya daripadaku.” “Aku gubernur, aku tidak melihat bahaya padanya.” “Nah, engkau tidak mengenali dirimu sendiri. Bilamana nafsu keinginanmu membakar dan hatimu terombangambing, apalagi yang lebih berbahaya dari itu?” Kisah ini mencoba mengingatkan akan bahaya sebuah jabatan.

Kisah ini sama halnya dengan gunernur terpilih nanti. Seorang gubernur yang mengikuti nafsu untuk berkuasa dengan jalan-jalan korupsi, berbuat semena-mena, tidak acuh terhadap rakyatnya, maupun menindas rakyatnya. Sikap ini adalah malapetaka untuk rakyat.

Menjadi Rakyat Antisuap
Kurang dari 3 bulan lagi Sulawesi Selatan akan memilih pemimpin, pemilihan gubernur. Ketiga calon sudah terpilih untuk bertarung menuju DD 1. Manuver politik dari para calon untuk menjadikan dirinya gubernur sudah dimulai jauh hari sebelum penetapan calon. Daerah-daerah di Sulsel yang hampir tak pernah dijamah oleh mereka, kini makin intens dikunjungi. Rakyat Sulsel menjadi target mereka. Mudah-mudahan ketika terpilih nanti, kegiatan ini mereka lakukan dan tak hanya muncul ketika sang pemimpin mau dipilih.
Memang berat menjadi pemimpin, ada banyak kriteria. Punya massa, punya pendukung loyal, punya tim yang kuat dan kompak. Namun kata orang-orang, kriteria utama adalah uang. Seorang calon gubernur setidaknya mesti punya uang sekurang-kurangnya Rp20 Milyar untuk maju bertarung. Membayar kerja tim, membeli suara partai pendukung maupun kebutuhan lainnya. Terkait suara rakyat, ada sebuah prinsip klasik “Anda Jual Saya Beli”. Suara sekarang harus dibeli. Sangat jarang yang mau memberikan suaranya jika tak diberi imbalan, meskipun imbalannya tak seberapa ketimbang kesejahteraan jangka panjang jika rakyat memilih pemimpin yang tepat.

Jika rakyat menerima suap. Apa bedanya kita dengan anggota DPR dan DPRD yang menerima terjerat kasus suap. Mengapa kita mesti menghardik mereka jika kita mau juga suap. Lucu sekaligus miris melihat rakyat yang demikian.

Selain itu rakyat yang memilih nanti mesti mempunyai hati nurani bukan karena nafsu berupa imbalan jabatan ataupun harta. Menurut Nurcholish Madjid , kesucian manusia bersumber dari hati nurani manusia sendiri. Nurani ini bersifat abadi, konstan, tidak berubah, karena manusia selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Jadi jika saat kita tak menggunakan hati nurani maka kita tak lebih dari hewan yang lebih mengutamakan nafsu. Hati nurani ini akan selalu berkata benar dan tak ingkar.

Akhirnya semua keputusan berada di tangan rakyat dan pemimpin nanti, mau dibawa kemana Sulsel, apakah ke jalan kesejateraan atau ke jalan kesesatan. Sinergitas sangat diperlukan. Rakyat yang tulus memilih pemimpin tanpa suap dan cerdas melihat calon pemimpin. Pemimpin yang berpihak pada kebaikan, bertanggung jawab, serius dengan pekerjaannya, sederhana, tidak korupsi, punya idealisme dan cerdas. (*)


Daftar Rujukan

Sutanto, Yufuf dkk. 2011. The Dancing Leader. PT. Kompas Gramedia Utama. Jakarta.
Muhammad Monib dan Islah Bahrawi. 2011. Islam dan Hak Asasi Manusia dakam Pandangan Nurcholish Madjid. PT Gramedia Utama. Jakarta.
x

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar