Menyoal tentang Jurnal Ilmiah

By Hamidah Foundation - 05.09






Surat edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemdikbud) yang menjadikan publikasi karya ilmiah tiket lulus mahasiswa terus menuai pro kontra. Terkhusus pada kalangan pendidik terlebih lagi perguruan tinggi swasta.

Ihwal munculnya himbauan ini karena publikasi jurnal ilmiah sangat menyedihkan dan plagiasi yang merajarela di Indonesia. Dengan 160 ribu akademisi dan peneliti yang dimiliki, setiap tahun Indonesia hanya mampu memublikasikan kurang dari 500 jurnal ilmiah secara internasional (Suaramerdeka.com,12/3/12). Kondisi itu tertinggal jauh dari negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filifina.

"2001 hampir semua sama jumlah publikasi jurnal, namun semakin ke sini Indonesia semakin tertinggal, terutama dari Malaysia, Turki, China," jelas Nuh. (detikcom, 27/2/12). Tak ayal untuk mengatasi persoalan ini maka pemerintah mengeluarkan himbauan yang dikemas dalam bentuk surat edaran yang bersifat “memaksa”.

Peraturan ini mengharus segera terlaksana bulan Agustus 2012 mendatang. Memang surat dari pemerintah masih dalam batas himbauan namun isi surat menyebutkan keharusan yang dengan kata lain mau tak mau mesti dilakukan. Tak ada yang menyangkal himbauan ini berat karena mahasiswa mesti menerbitkan tulisan yang masuk dalam skala jurnal ilmiah. Tentunya dalam membuat karya ilmiah tak segampang menulis celoteh ataupun tulisan yang biasa kita lihat di majalah atau koran.

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia yang merupakan refrensentasi perguruan tinggi swasta menolak kewajiban memublikasikan karya ilmiah mahasiswa di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Edy Suandi Hamid, berujar bahwa jangan sampai jurnal yang ditelurkan oleh mahasiswa bukanlah jurnal yang sebenarnya diakui oleh dunia internasional.

Perkataan dari ketua Aptisi ini memang beralasan. Peraturan dari pemerintah ini terlihat sangat tergesa-gesa yang langsung mengumumkan kepada semua universitas. Namun perlu diingat, kemampuan dari setiap universitas sangat beragam. Alangkah tak elok rasanya jika universitas sekaliber UI, UGM dan ITB disejajarkan dengan universitas yang nun jauh di provinsi kecil.

Tapi perlu dicatat, Negara Indonesia adalah negara yang masih masuk dalam kategori negara berkembang. Jika kalangan pendidikan hanya kebanyakan teori dan takut akan cercaan masyarakat dunia sungguh adalah sifat yang kalah sebelum berperang. Sesuatu itu dapat dinilai kalau sudah ada. 

Bagaimana kita mengetahui jurnal yang ada benar atau tidak kalau belum terlihat hasilnya. Di sini juga akan terlihat fungsi dari pembimbing apakah memang laik menjadi seorang pembimbing. Adapun itu jika nantinya kualitasnya di bawah standar maka akan ada paremeter yang nyata menilai jurnal buatan anak Indonesia . Ketimbang hanya menakutkan persoalan yang belum terjadi. Selanjutnya diperbaiki secara bersama-sama.

Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini dikeluarkan karena publikasi ilmiah dari Indonesia sangat menyedihkan. Fakta ini memang benar adanya tahun lalu Indonesia kalah telak dari Malaysia yang memublikasikan lima kali lebih banyak. 

Padahal pemerintah telah menyiapkan insentif untuk peneliti yang yang akan meneliti. Dengan diadakannya peraturan ini pemerintah melalui Kemendikbud optimis dapat mengungguli Negara di Asia dengan potensi 400 ribu lulusan tiap tahunnya.

Selain itu kasus plagiat tak lepas dari motif pemerintah mengeluarkan himbauan ini. Di Makassar sendiri masih banyak persoalan tentang kasus yang satu ini. Bahkan universitas terkemuka di daerah ini pernah terjerat kasus plagiasi dan pembuatan skripsi (karya ilmiah). 

Jika permasalahan tetap dibiarkan maka bukan tak mungkin mahasiswa akan menjadi generasi pengikut dan mudah untuk diarahkan. 

Hal ini juga akan berimplikasi kepada tak adanya lulusan yang kompetitif untuk bersaing dengan negara lain. Apabila sudah demikian maka bangsa ini hanya akan berperilaku konsumtif dan tak produktif.

Alasan selanjutnya yakni mendorong tumbuhnya budaya ilmiah, dapat diakui budaya ilmiah di kalangan mahasiswa sangat rendah. 

Baik antar mahasiswa maupun dosen dengan mahasiswa. Hal ini terlihat proses belajar mengajar. Dialektika yang terbentuk saat kuliah hampir tidak ada, kebanyakan sistem yang ada pun terkesan satu arah yakni dosen menjelaskan kemudian mahasiswa mendengarkan.

Setelah itu tak ada dialek yang terbentuk antara kedua elemen ini. Mahasiswa pun sudah merasa puas dengan ceramah sang dosen sehingga pengetahuan tertahan pada ilmu dosen tersebut. Apabila dosenpun tak meningkatkan derajat keilmuannya maka lulusan yang dihasilkan akan sama saja dari tahun ke tahun. 

Hasilnya ilmu yang ada pada seorang mahasiswa ataupun alumnus adalah cloning dari dosen. Mahasiswa pun jarang melaksanakan penelitian secara berkala. Penelitian yang dilakukan juga terkesan menggugurkan kewajiban yang hanya dikerjakan saat skripsi ataupun pembuatan tugas akhir.

Alasan ini menjadi perhatian yang cukup untuk memahami motif pemerintah dan memikirkan konsekuensi membuat jurnal untuk kehidupan. Seyogiyanyapun jurnal tak terbatas sebagai bahan untuk gagah-gagahan dengan negara lain atapun hanya sebatas eksploitasi. Alasan pemerintah melalui surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi atas himbauan membuat jurnal adalah suatu kekeliruan. 

Banyak orang meginterpretasikannya bahwa jurnal hanya dibuat berdasarkan atas kalah jumlah. Mestinya pemerintah memasukkan alasan yang diungkapakan oleh jajaran Kemendibud di dalam media cetak ataupun online tersebut ke dalam surat edaran. Siapapun pasti akan menilai alasan pemerintah hanya kalah jumlah dari Malaysia sehingga keluarlah peraturan ini.

Selanjutnya pro kontra yang ada di kalangan pendidik mesti diselesaikan secara bijak. Ada baiknya pemerintah legowo duduk bersama dengan pihak yang terkait yang menolak publikasi karya ilmiah. Jika perang argumentasi yang muncul hanya akan memunculkan perdebatan semu. 

Artinya kita memperdebatkan sesuatu yang belum terlaksana namun sudah ribut dengan konsekuensi negatif yang belum tentu terjadi . Ketakutan sebagian dari elit pendidik kampus sangatlah besar tentang adanya jurnal ilmiah ini namun masukan ini mesti tetap diapresiasi oleh pemegang kuasa pendidikan. (*)











  • Share:

You Might Also Like

0 komentar