Ibu dan Ritualnya

By Hamidah Foundation - 09.57

Sang fajar masih belum menunjukkan kilaunya. Suasana di rumahku yang terletak di tengah gang Kompleks Pasar Minasa Maupa, Keluarahan Tompobalang, Somba Opu, Gowa masih sepi. 

Sesekali hanya terdengar suara tapak kaki dan suara tikus yang berada di atas loteng. Aku sudah lama di tinggal di sini. 

Dulunya tempat tinggalku mempunyai banyak lapangan. Kami, anak-anak kompleks ini, begitu bebas memilih lapangan untuk bermain bola atau hanya memainkan permainan tradisional seperti Cangkek, Santo ataupun Asing.

Aku dan keluargaku sudah tinggal di daerah ini sejak 1997. Dulu rumahku hanyalah hamparan sawah yang datar. 

Namun, semakin tahun berganti, satu persatu bangunan didirikan. Di samping kanan, sebelah kiri, depan dan belakang rumahku hampir tak ada lagi area yang lowong. 

Jika aku naik ke lantai dua hanya tembok dan seng yang terlihat. Semuanya cepat sekali berubah. Hanya sepuluh tahun berselang hamparan sawah ini telah dipenuhi dengan betong. Semuanya telah tergerus oleh zaman modern.

Namun budaya keluarga kami hampir tak ada yang berubah. Ibuku mempunyai kebiasaan yang tak pernah tergerus zaman dan perilaku modern. Setiap pagi sebelum menuju tempat aktivitasnya, Ia mengambil air dari botol minuman mineral. 

Air ini Ia usapkan ke kening terus ke kedua kelopak matanya setelah itu Ia bersitkan ke seluruh ruangan yang berada di sekitarnya. Akupun iseng bertanya namun Sang Ibu menatap nanar dan membentak. “Ha...teamako akkuta’nangi (kamu jangan bertanya),” bentaknya kepadaku.

Sejak saat itu, akupun hanya diam dan memperhatikan ritual Ibu setiap subuh. Ritual ini adalah segelintir ritual-ritual aneh Ibu. 

Suatu ketika Ayahku sakit namun tak ada dokter yang tahu jelas apa penyakitnya. Ia pun memboyong Ayahku ke “orang pintar” (dukun). Segala macam hal yang dikatakan dukun itu diterima mentah-mentah oleh Ibu dan Ayahku. Maka bertambahlah ritual dari Ibuku. Ia tetap mempercayai perkataan dukun itu meski sakit Ayahku tak kunjung sembuh.

Air dan Celana Dalam Ayah
Sejak kecil kedua adikku tak pernah akur. Ketika mereka ketemu pasti ricuh. Suara teriakan saling memaki setiap hari memecah ketenangan rumah. Entah apa masalah mereka sehingga saling beradu mulut dan fisik bak dua ekor singa jantan. Akupun biasanya tak kuasa untuk melerai.

Suatu ketika, Aku pulang dari sekolah dan membuka kulkas kulihat segelas air dan terdapat celana dalam di dalamnya. Aku langsung jijik dan ingin membuang air itu. “Siapa orang bodoh menaruh air dengan celana dalam di dalamnya,” gerutuhku.

Sesaat air ini akan kubuang, Ibu melihat dan menghentikanku. Ia pun menyuruh aku meletakkan kembali air tersebut di dalam kulkas. “Untuk apa air dan celana dalam di dalam kulkas?,” tanyaku. 

“Itu diminum kedua adikmu karena sering berkelahi,” jawabnya. Akupun spontan bertanya. “Kenapa mereka diberikan minuman dengan celana dalam di dalamnya dan ini celana dalam siapa,” tanyaku balik. “Itu celana dalam milik ayahmu agar mereka berkelahi lagi,” tegasnya.

Aku tak tahu apakah kedua adikku meminum air tersebut. Yang jelas mereka tak tahu. Namun setelah peristiwa itu, Aku tak pernah lagi melihat kedua adikku berkelahi. Ibu meyakini ritual tersebut.

Mungkin ritual ini tak masuk akal, irrasional, tak terjangkau oleh nalar. Namun ketika dewasa, saya tak pernah lagi menganggap hal tersebut tak masuk akal. 

Karena memang hidup ini memang tak masuk akal. Tradisi dan ritual orang-orang dahulu mereka yakini dan jalankan secara turun temurun. Apakah akan berhenti di tangan kita? Entahlah. Aku masih ragu. (*)

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar