Sejak aku mengenal seseorang kemudian hati
berkomitmen untuk berlanjut ke jenjang selanjutnya, akan berakhir pada tataran pacaran. Kalau sudah
jenuh maka putus adalah jalan satu-satunya. Hal ini pernah terjadi awal tahun 2009. Ketika
itu aku berteman dengan salah satu pendengar setia radio komunitas kampusku. Ia
anak baik. Ramah. Aku jatuh hati padanya. Ia juga demikian. Aku sebenarnya
tetap ingin berteman. Namun ia mau menaikkan status menjadi pacaran. Aku
menuruti saja karena nanti dianggap tak perhatian. Takut rasaku berkurang
kepadanya.
Tak lama berselang kami jalani sebagai status
pacaran. Kata kakak yang sering dia tuturkan kini berganti menjadi sayang. Laiknya
pasangan yang lagi kasmaran. Sebentar-sebentar sms masuk. Sekadar menanyakan
kabar. Menyapa sedang melakukan apa. Atau hanya melepas rasa rindu dengan
mendengar suara masing-masing. Sebulan berlalu, entah apa yang terjadi
kata-kata itu terkikis. Bagaikan ombak ganas menyapu jejak-jejak perpaduan
kasih yang kami ukir. Abrasi. Hilang tak berbekas.
Kami terlena. Tak mempersiapkan akan ada masa-masa
jenuh. Kami terlalu naïf bahwa cinta hanya perasaan senang yang ada. Tak ada
rasa susah. Hal ini memang paling memungkinkan terjadi waktu kami masih berumur
18 tahun. Masih labil.
Mulai hari itu saya berkomitmen tak akan menjaling
hubungan ketika masih berpikir cinta adalah kesenangan.
Alasan aku menulis tulisan ini karena merasakan dan
perlahan-lahan mantap memahami cinta itu bukan hanya hubungan antar sesama. Antara
laki-laki dan perempuan. Antara anak dan sanak keluarga. Antara Tuhan dan
hambanya. Namun cinta itu sangat universal. Cinta adalah teman. Tak ada sahabat
tanpa ada rasa cinta. Inilah mungkin pemahaman aku sekarang. Mungkin Anda yang
membaca beda. Tak sama. Tak sepakat dengan persepsiku.
Akhir-akhir ini aku merasa dekat dengan seseorang.
Ia sangat-sangat bisa masuk kriteria pacar. Enak dan nyaman ketika bertemu. Banyak
kesamaan di antara kami. Namun ia tak mau mengambil jalan itu. Aku pun
demikian. Kami mengambil jalan bersahabat saja. Pilihan yang sangat demokratis.
Namun tetap menggunakan perasaan kami
masing-masing.
Namun sisi ini sama dengan yang aku rasakan empat
tahun lalu. Masih terlihat baik. Tak ada pertengkaran. Namun akan sama saja
nasib hubunganku jika kami memilih jalan pacaran. Pengalaman berbicara bahwa
hubungan ini tak akan bertahan lama. Karena target sudah terpenuhi.
Namun jalan sahabatlah yang kami pilih. Tak akan ada
saling menjatuhkan, yang ada saling mendukung. Membangunkan jika ada yang
terjatuh. Menegur jika salah satu dari kami salah arah. Saling memotivasi jika perasaan
sedang terdegradasi oleh tantangan kehidupan. Mengulurkan tangan sebelum
sahabat membutuhkan bantuan. Merasa sedih jika sang sahabat terluka. Merasa
senang jika dia tertawa. Tetap senang jika tak dilibatkan dalam kesenangan
sahabat. Memahami sifat dan karakter masing-masing. Akan sangat menyesal jika
terjadi hal yang buruk antar keduanya. Saling menerima kekurangan dan
kelebihan.
“People never know how special someone is until they
leave, but maybe sometimes it’s important to leave, so they are given that change
to see how special that someone really is!” –Ali Nitka
Jika kata-kata ini bisa membuktikan, tak apalah. Ini
mungkin adalah konsekuensi. Semua yang kita lakukan mempunyai resiko. Meski hal
itu untuk kebaikan terlebih lagi keburukan.
Hubungan selanjutnya akan ditentukan oleh kami
berdua dan tentunya orang-orang terdekat kami.
0 komentar
Mari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!