Malam itu menjelang pukul 00.30 WITA. Saya tak jadi
pulang ke rumah. Takut mengganggu keluarga yang pasti sudah tidur. Maka arah
motorku pun berubah haluan menuju sekretariat lembagaku. Tak cukup 10 menit,
motor telah membawaku ke tempat tujuan. Suasananya masih ramai. Masih ada
anggota terjaga. Maklum akhir-akhir ini banyak pencurian. Mungkin mereka
berjaga-jaga jangan sampai peristiwa serupa terjadi.
Karena lelah, langsung saja kuhempaskan tubuh ini pada setumpuk sofa tak
berangka. Saya menyebutnya demikian karena tinggal sofanya yang ada. Rangka
kursi entah kemana. Sekilas termenung saya teringat cerita salah satu karib
tentang sebuah novel. Katanya ceritanya bagus. Mengharukan. Diangkat dari kisah
nyata. Tsunami Aceh, Desember 2004 silam. Judulnya Hafalan Shalat Delisa. Karya
Tere Liye. Saya pun memanggil teman yang mempunyai film-nya. Kata teman pun
mengamini permintaan saya. Film-nya ada.
Mungkin teman-teman yang sudah menontonnya tahu
betul seluk belum. Inci per inci. Detik demi detik alur film ini. Plot cerita film
ini memang tak begitu rumit seperti karya sineas mapan yang sering saya tonton.
Delisa dan keluarganya terkena dampak bencana Tsunami. Ibu dan saudarinya
meninggal. Hanya Delisa yang selamat. Selanjutnya Ia mampu bangkit dari
keterpurukan. Mampu ceria. Meski dengan kaki satu.
Dari plotnya cerita Delisa memang sederhana. Namun
pelajaran yang diberikan kepada pembaca maupun penonton sangat berarti. Menyetuh
jiwa.
Itu kisah Delisa yang saya dapat rasakan. Saya tak
tahu perasaan ketiga teman yang juga menonton malam itu. Namun secara visual mereka juga ikut
merasakan kesedihan Delisa. Bahkan seorang teman sengaja mematikan lampu.
Mungkin Ia tak terlihat sedang meneteskan air mata. Entahlah, ini mungkin hanya
spekulasi. Saat film tiba pada titik klimaks, seorang teman berinisial A ‘menyatu’
dengan kegelapan. Mengambil posisi paling belakang. Sambil mencuri-curi
pandang. Setelah klimas usai, Ia pun bergegas pergi. Mengambil sofa selanjutnya
membaringkan badan dengan muka menghadap ke bawah. Saya tak tahu alasan ia
meninggalkan film yang belum tuntas. Apakah bosan?Ngantuk. Atau malah tak
tertarik dengan scene final Hafalan
Shalat Delisa. Namun saya menduga ia tak mau melihat akhir film ini.
Berbeda dengan saya dan kedua teman yang masih setia
di depan laptop. Hingga akhir film kedua teman hanya sesekali tertawa, sisahnya
dan kebanyakan terdiam. Bahkan saya melihat air di mata mereka. Saya tak tahu
apakah itu akibat menahan kantuk, pantulan cahaya laptop, atau mata yang
berkaca-kaca (terharu). Entahlah hanya Tuhan dan mereka yang tahu. (*)
0 komentar
Mari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!