Malam baru berlalu satu jam, Dg Kanang (44) telah
bangun dan mempersiapkan dagangannya untuk dipasarkan subuh nanti. Jam sudah
menindih pukul 01.30 WITA, suara sudek bertumbukan dengan wajang sudah memecah malam
di rumahnya, Kompleks Pasar Minasa Maupa, Jalan Swadaya 3 No. 1, Kelurahan
Tompo Balang, Kecamatan Somba Opu, Gowa.
Dia biasanya dibantu oleh suaminya, Dg Suro. Namun
kadang kala Dg Kanang sendiri. Suaminya sering keluar daerah. Mengurus proyek kontruksi.
Dg Suro adalah kontraktor.
Menjadi penjual makanan jadi dijalani Dg Kanang
mengingat suaminya sering sakit-sakitan. Selain itu Ia juga tak mau hanya
berdiam diri menunggu iuran bulanan dari suaminya. Maklum suaminya baru
mendapat uang jika proyeknya baru selesai. “Bisa tiga hingga enam bulan lagi
baru bapak (Dg Suro) memberi saya uang. Sedangkan hidup harus berjalan tiap
hari,” ungkapnya dengan mata manatap tajam.
Belum buka toko Dg Kanang, pelanggan sudah memenuhi area
jualannya. “Angngapa ni sallo kamma (Kenapa
lama sekali)” teriak salah satu pelanggan yang langsung menyabet roti pia.
Dg Kanang hanya menjawab lambat bangun karena
mengurus anak dan rumah. Selain sebagai penjual makanan jadi, ia juga harus
mengurus keluarganya. Ia mempunyai dua orang putra dan seorang putri. Putra
tertuanya bernama Ismail. Masih kuliah di salah satu universitas negeri di Kota
Makassar. Sedang putrinya masih menjalani sekolah dasar. Si bungsu masih
berumur lima tahun. Putranya yang terakhir ini yang sering membuat ulah. Sering
tak tidur hingga larut malam. Hal inilah yang membuat Dg Kanang sering kali
lambat bangun.
Profesi sebagai penjual makanan jadi sudah dijalani
Dg selama delapan tahun. Suka duka dia sudah kecap. Mulai dari mendapat materi
berlebih hingga sakit satu bulan yang mesti ia jalani. Menjadikan rumahnya
bertingkat dua. Menyekolahkan anaknya hingga jenjang universitas. “Saya cuman lulusan SD, jadi anak saya mesti
lebih tinggi lagi,” katanya sambil melayani pelanggan satu persatu.
Semua ini Dg Kanang lakukan semata-mata mengubah
nasib keluarganya menjadi lebih baik. Ia tak mau lagi melihat anak-anaknya putus
sekolah seperti dia. Dulu Ia putus sekolah karena ekonomi keluarga dan tak
adanya kesadaran keluarga dalam hal pendidikan.
Menjadi penjual makanan dirasa Dg Kanang cukup
memuaskan. Untung 200 ribu perhari ia kantongi. Jika pelanggan sepi paling
kurang 100 ribu ia dapatkan. Pendapatan ini jika dihitung-hitung, setiap bulan
ia bisa mendapatkan 4 hingga 6 juta per bulan. Gaji Pegawai Negeri Sipil jauh
tertinggal. “Lumayan untuk membayar iuran bulanan seperti listrik dan air dan
uang jajan kedua anaknya,” terangnya.
Anak tertuanya memang sudah tak pernah meminta uang.
Ia sudah kerja sebagai tentor di salah satu bimbingan belajar Makassar. Hal ini pula yang sedikit mengurangi beban
keluarganya. Setiap bulan Ismail dapat memberikan Dg Kanang uang sekitar 500
ribu rupiah.
Dg Kanang memberikan pesan kepada anaknya agar
supaya dapat hidup mandiri dan berusaha semaksimal mungkin untuk meraih
cita-cita. “Soal uang saya tak pernah persoalkan yang penting anak-anak dapat
terpenuhi kebutuhannya, baik sekolah maupun uang,”tutup Dg Kanang. (*)
0 komentar
Mari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!