Gowa: Kerajaan Masa Lalu…

By Hamidah Foundation - 23.05

Hari ini 17 November 2013 menandakan kabupaten Gowa (dulu kerajaan Gowa) telah berdiri selama 693 tahun. Suatu masa yang sangat panjang. Ada banyak cerita mengenai daerah ini. Mulai dari masa jaya hingga masa titik nadir, peperangan besar antara kerajaan Gowa dan VOC. Mulai dari kepemimpinan Tumanurung hingga Andi Ijo Daeng Mattawang.

Kerajaan ini terbentuk dari komunitas bernama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi sebuah negara konfenderasi bernama Gowa. Terbentuknya kerajaan Gowa terjadi tak segampang yang kita pikirkan. Diantara kesembilan kerajaan kecil ini selalu berperang. Hingga akhirnya mereka mendengar akan turun seorang yang akan menyatukan dan mengehentikan peperangan yang panjang. Maka bergegaslah mereka menuju ke tempat itu. Namanya Taka’bassia di bukit Tamalate. Mereka duduk melingkar hingga terlihat cahaya, turunlah seorang perempuan cantik jelita dari cahaya itu. Perempuan itulah yang bernama Tumanurung Bainea.

Kerajaan ini utuh hingga Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa melanjutkan takhta ayahnya sedangkan saudaranya mendirikan kerajaan baru bernama Tallo. Kebijakan Tunatangka ini menimbulkan perang saudara antar kedua kerajaan yang lamnya hampir seabad. Barulah saat Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna berkuasa di awal abad ke 16 pertikaian ini bisa terselesaikan.

Raja ini membawa Gowa menginvasi kerajaan-kerajaan kecil. Daerah itu antara lain  Garassi, Katingan, Mandalle, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Bulukumba, Selayar, Panaikang, Campaga, Marusu, Polongbangkeng (Takalar), dan lain-lain. Selanjutnya Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang Nionjok, Tanete (Barru), Kahu, dan Pakombong. Aktivitas perdagangan rakyat Gowa terkenal hingga ke India, Siam (Muangthai) dan Filipina Selatan.

Suksesor Tumapa’risi’ Kallonna, I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng memperluas wilayahnya hingga mencoba mengusai Kerajaan Bone. Ia menginvasi Bone yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Bone VII, La Tenrirawe Bongkange Matinro Ri Gucina. Namun sayang ia meninggal dalam peperangan. Akhir dari invasi ini berujung dengan perjanjian damai. Perjanjian itu biasa disebut Ulukanaya ri Caleppa (kesepakatan di Caleppa).

Perkembangan Kerajaan Gowa mencapai kejayaannya setelah Sultan Malikulsaid memimpin. Ia bisa menjaling hubungan yang baik dengan raja-raja di luar seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan (India) dan terlebih kerajaan-kerajaan di nusantara.
Kerja sama ini tak mengalami kendala hingga VOC di bawah naungan Belanda ingin memonopoli perdagangan. Ketegangan Kerajaan Gowa dan VOC semakin meruncing setelah Sultan Hasanuddin memimpin Gowa. Ia memang terkenal tegas dan tak mau tunduk pada Belanda.

Tahun 1654-1655 terjadi pertempuran hebat antara Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. April 1655 armada Gowa yang langsung dipimpin Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu. Belanda mengalami kerugian dan menawarkan berbagai perdamaian damai namun selalu tak berhasil. Hal ini merupakan siasat Belanda. Tahun 1666 Belanda menggerakkan pasukan terkuatnya dari Batavia (Jakarta) untuk memerangi Sultan Hasanuddin dan rakyatnya namun tak pernah berujung pada keberhasilan. Berkali-kali perundingan tapi selalu pula Gowa dirugikan seperti tak bisa berdagang ke Banda dan Ambon, VOC memperoleh hak monopoli perdagangan, Kerajaan Gowa-Tallo diperkecil hingga Gowa saja, mengganti biaya perang. Berkali-kali siasat damai VOC dilancarkan segitu juga Kerajaan Gowa menolak dan memilih perang mesti nyawa taruhannya. Hingga Sultan Hasanuddin wafat pun perang masih terus berkecamuk.

Namun masa kejayaan Gowa mundur bukan gara-gara melawan VOC namun harus pula melawan bangsa sendiri. Banyak bangsawang melakukan pengkhianatan terhadap bangsa sendiri. Mereka memilih bergabung dengan VOC untuk menjadi ‘boneka’ asalkan menjadi penguasa.

Sekarang peradaban Gowa hanya tinggal di museum. Banyak pemudanya bangga menggunakan budaya asing yang merusak moral dan etika. Lihatlah anak-anak sekarang, seberapa banyak mereka tahu dan menggunakan identitas Siri’ na Pacce.

Mudah-mudaha kita masih ingat kata-kata Karaeng Patingalloang (Perdana Menteri saat Karaeng Sultan Malikulsaid) tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, ia pernah berpesan, ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu: 1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka (Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati), 2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga (Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri), 3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga (Apabila tak ada sifat bijak di dalam negeri, 4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya,  (Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok) dan 5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka (Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya).


Kerajaan Gowa memang sudah lama runtuh, namun spirit itu harus ada dalam sanubari kita. Semangat gagah berani, budaya yang bermoral, bersifat cerdas, dan sifat-sifat positif lainnya. Selamat ulang Gowa(*)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar