Hari ini 17 November 2013 menandakan kabupaten Gowa (dulu kerajaan Gowa)
telah berdiri selama 693 tahun. Suatu masa yang sangat panjang. Ada banyak
cerita mengenai daerah ini. Mulai dari masa jaya hingga masa titik nadir,
peperangan besar antara kerajaan Gowa dan VOC. Mulai dari kepemimpinan Tumanurung hingga Andi Ijo Daeng Mattawang.
Kerajaan ini terbentuk dari komunitas bernama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi sebuah negara
konfenderasi bernama Gowa. Terbentuknya kerajaan Gowa terjadi tak segampang
yang kita pikirkan. Diantara kesembilan kerajaan kecil ini selalu berperang.
Hingga akhirnya mereka mendengar akan turun seorang yang akan menyatukan dan
mengehentikan peperangan yang panjang. Maka bergegaslah mereka menuju ke tempat
itu. Namanya Taka’bassia di bukit Tamalate. Mereka duduk melingkar hingga
terlihat cahaya, turunlah seorang perempuan cantik jelita dari cahaya itu. Perempuan
itulah yang bernama Tumanurung Bainea.
Kerajaan ini utuh hingga Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi
wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa
dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa melanjutkan takhta ayahnya sedangkan
saudaranya mendirikan kerajaan baru bernama Tallo. Kebijakan Tunatangka ini
menimbulkan perang saudara antar kedua kerajaan yang lamnya hampir seabad. Barulah
saat Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna berkuasa di awal abad ke 16
pertikaian ini bisa terselesaikan.
Raja ini membawa Gowa menginvasi kerajaan-kerajaan kecil. Daerah itu
antara lain Garassi, Katingan, Mandalle,
Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Bulukumba, Selayar,
Panaikang, Campaga, Marusu, Polongbangkeng (Takalar), dan lain-lain. Selanjutnya
Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang Nionjok, Tanete (Barru), Kahu, dan Pakombong.
Aktivitas perdagangan rakyat Gowa terkenal hingga ke India, Siam (Muangthai)
dan Filipina Selatan.
Suksesor Tumapa’risi’ Kallonna, I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung
Tunipallangga Ulaweng memperluas wilayahnya hingga mencoba mengusai Kerajaan
Bone. Ia menginvasi Bone yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Bone VII, La
Tenrirawe Bongkange Matinro Ri Gucina. Namun sayang ia meninggal dalam
peperangan. Akhir dari invasi ini berujung dengan perjanjian damai. Perjanjian
itu biasa disebut Ulukanaya ri Caleppa
(kesepakatan di Caleppa).
Perkembangan Kerajaan Gowa mencapai kejayaannya setelah Sultan Malikulsaid
memimpin. Ia bisa menjaling hubungan yang baik dengan raja-raja di luar seperti
Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di
Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan (India) dan terlebih
kerajaan-kerajaan di nusantara.
Kerja sama ini tak mengalami kendala hingga VOC di bawah naungan Belanda
ingin memonopoli perdagangan. Ketegangan Kerajaan Gowa dan VOC semakin
meruncing setelah Sultan Hasanuddin memimpin Gowa. Ia memang terkenal tegas dan
tak mau tunduk pada Belanda.
Tahun 1654-1655 terjadi pertempuran hebat antara Gowa dan Belanda di
kepulauan Maluku. April 1655 armada Gowa yang langsung dipimpin Hasanuddin
menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara
Belanda di negeri itu. Belanda mengalami kerugian dan menawarkan berbagai
perdamaian damai namun selalu tak berhasil. Hal ini merupakan siasat Belanda. Tahun
1666 Belanda menggerakkan pasukan terkuatnya dari Batavia (Jakarta) untuk
memerangi Sultan Hasanuddin dan rakyatnya namun tak pernah berujung pada keberhasilan.
Berkali-kali perundingan tapi selalu pula Gowa dirugikan seperti tak bisa
berdagang ke Banda dan Ambon, VOC memperoleh hak monopoli perdagangan, Kerajaan
Gowa-Tallo diperkecil hingga Gowa saja, mengganti biaya perang. Berkali-kali siasat
damai VOC dilancarkan segitu juga Kerajaan Gowa menolak dan memilih perang
mesti nyawa taruhannya. Hingga Sultan Hasanuddin wafat pun perang masih terus
berkecamuk.
Namun masa kejayaan Gowa mundur bukan gara-gara melawan VOC namun harus
pula melawan bangsa sendiri. Banyak bangsawang melakukan pengkhianatan terhadap
bangsa sendiri. Mereka memilih bergabung dengan VOC untuk menjadi ‘boneka’
asalkan menjadi penguasa.
Sekarang peradaban Gowa hanya tinggal di museum. Banyak pemudanya bangga
menggunakan budaya asing yang merusak moral dan etika. Lihatlah anak-anak sekarang,
seberapa banyak mereka tahu dan menggunakan identitas Siri’ na Pacce.
Mudah-mudaha kita masih ingat kata-kata Karaeng Patingalloang (Perdana
Menteri saat Karaeng Sultan Malikulsaid) tampil sebagai seorang cendekiawan dan
negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, ia pernah berpesan, ada
lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu: 1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka (Apabila raja yang
memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati), 2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang
Pa’rasangnga (Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri),
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang
Pa’rasanganga (Apabila tak ada sifat bijak di dalam negeri, 4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, (Apabila sudah banyak hakim dan pejabat
kerajaan suka makan sogok) dan 5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka
(Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya).
Kerajaan Gowa memang sudah lama runtuh, namun spirit itu harus ada dalam
sanubari kita. Semangat gagah berani, budaya yang bermoral, bersifat cerdas,
dan sifat-sifat positif lainnya. Selamat ulang Gowa(*)
0 komentar