Miris melihat kampus UNM sektor Parangtambung kembali bergolak. Hasilnya
dapat dipastikan kerusakan dimana-mana, baik fasilitas kampus maupun properti
pribadi mahasiswa. Korban bukan hanya mahasiswa bertikai namun semua manusia di
bawah almamater ‘kampus orange’ ikut menanggung tingkah laku mereka.
Selama ini perselisihan antar mahasiswa memang selalu berakhir dengan
jalan adu jotos. Lempar batu. Saling menghancurkan kampus. Kemudian kampus
libur. Setelah libur maka kondisi seperti sedia kala seperti tak pernah terjadi
apa-apa.
Tawuran memang sudah menjadi budaya. Hingga tak afdal rasanya jika perselisihan
itu tak diluapkan secara bersama-sama. Ada doktrin yang tertanam di kampus, “kalau
kamu menyakiti saudaraku maka aku juga merasa sakit.” Inilah mungkin yang
dimaksud solidaritas antar mereka. Tak peduli efek yang akan terjadi.
Pakar Psikologi Erich Fromm (1900-1980) menganggap konflik dan tawuran
adalah sesuatu yang menyenangkan. Memang sangat memuaskan setelah melepas amarah
meski itu bukan orang yang dimaksud langsung. Yang penting pelampiasan amarah
itu telah menyentuh simbol. Baik itu temannya, nama institusinya, tempat orang
yang dianggap musuh bernaung.
Lihatlah perkelahian kemarin di Parangtambung. Pihak berwajib tak
mendapatkan ‘otak’ pelaku sebenarnya. Pimpinan kampus hanya mendapati gedung
yang hancur. Motor yang tak berbentuk lagi. Orang lain yang terluka. Semua ini
hanya simbol. Pelaku tawuran tak melihat lagi sesuatu dari perspektif benar atau salah. Hanya tahu menghantam dan
mengahancurkan.
Bukankah aksi tawuran selama ini hanya membuat persoalan semakin
membesar. Bahkan tawuran telah memberikan sejarah kelam. Sudah ada orang yang
meninggal. Lalu kenapa hal ini terus terjadi?
Pemuja
Kekerasan
Orang-orang yang suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan sampai
akhirnya akan mengidap nekrofilia. Penyakit ini akan membawa seseorang untuk
memuja kekerasan. Semua permasalahan antar sesama selalu diselesaikan dengan
cara kekerasan ini. Hingga ada slogan mengatakan “Hiduplah Kematian”. Lihatlah teriakan-terikan
pelaku tawuran. Semua mengarahkan ingin membunuh dan menghancurkan.
Erich Fromm dalam tulisannya , Creators
and Destroyers (1964), nekrofilia yang bermakna ”mencintai kematian”. “Siapakah
orang yang bercorak nekrofilik?” tanya Fromm. Dia adalah orang yang terpesona
oleh semua yang bukan kehidupan, yakni kematian, jenazah, kerusakan, dan
kekotoran. Orang yang dikuasai nekrofilia amat suka berbicara tentang
kesakitan, kerusakan, dan kematian.
Penyakit ini bisa dikembangbiakkan kepada generasi mendatang dengan
mengabarkan berita buruk tentang kelompok atau simbol yang dianggap musuh. Bisa
melalui doktrin dari senior ke junior. Bahkan penyakit ini telah menyentuh dan
merasuki pejabat yang tega melihat rakyatnya (baca:mahasiswa) terluntah-luntah.
Berada dalam kondisi bahaya. Tak tenang.
Ingat! peristiwa ini telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Namun
solusi yang ditawarkan selalu tak tepat sasaran. Orang-orang yang memimpin
belum berpikir luas. Semua berpikir rata-rata. Seperti kata mantan presiden
Amerika Serikat Eleanor Roosevelt. Pemikiran orang itu dibedakan menjadi tiga
macam. Pertama orang yang berpikir sempit yang sering membicarakan orang-orang.
Kedua pikiran rata-rata yang sering membicaran peristiwa. Dan terakhir orang
berpikir luas yakni selalu membicarakan gagasan dan solusi. Solusi yang
ditawarkan hanya berlangsung sementara.
Semoga kampus UNM diberkahi oleh Tuhan. Sehingga sang maha bijaksana mengirim
orang yang sehat dan kebal terhadap penyakit nekrofilia untuk menyelesaikan dan
membasmi pemuja kekerasan di bumi kampus pencetak guru ini. Amin. (*)
0 komentar