Ainulia
Aku mulai bertanya-tanya siapakah tokoh sebenarnya dalam diary ini. Mengapa ibuku meninggal? Lalu
siapa sekarang yang memakai nama itu. Entahlah aku semakin bingung, hanya ibuku
yang bisa menjawab. Lalu apakah Arif tahu Ainulia telah meninggal. Lalu kemana
Arif sekarang rimbahnya? Akalku tidak sampai ke sana. Aku juga makin pusing saja
memikirkan hal ini.
Maka aku selidiki satu demi satu kebenaran itu. Aku mulai dari ibuku
yang bernama Ainulia. Kemudian Ibnu temanku. Dan yang terakhir AM Nasution,
ayah Ibnu.
Strategi mengungkap fakta kumulai dari dokumen lama ibu. Aku cari
satu per satu ijasah, foto-foto, dan teman-teman ibu sewaktu kuliah.
“Lisa apa yang kamu cari?” Tanya ibu curiga.
“Aku mencari ijasah aku ma...aku ingin mendaftar sebagai tentor di
salah satu bimbingan belajar,” jawabku secara hati-hati.
Aku melihat ibu tak curiga melihat gelagatku. Aku pun melanjutkan
pencarian faktaku. Fakta yang mungkin akan membuka rahasia keluargaku.
Kenyataan yang akan mengubah segalanya.
Aku mulai mendapat sebuah foto. Foto yang sudah usang. Ada tiga
perempuan yang saling berangkul. Aku melihat foto ibu ada di tengah. Diapit
oleh dua orang perempuan. Aku curiga kedua perempuan ini adalah Raya dan Erni.
Aku membaca tulisan di belakang foto ini tertulis ”sahabat selamanya Ainulia,
Raya dan Erni.” Sungguminasa, 16 Februari 1988.
Namun mengapa foto ini ada di sini. Bukankah Ainulia sudah
meninggal, gantung diri. Sedangkan lanjutan dalam buku itu tersobek.
Kemudian masuk ke bab selanjutnya. Aku tak tahu apakah Ainulia benar-benar
meninggal atau selamat. Tak terjelaskan dalam buku itu.
Saban hari aku mencari fakta tentang kisah dalam diary ini namun
hasilnya nihil.
“Bu…aku mau ngobrol deh sama ibu mengenai teman ibu,” tanyaku
kepada ibu dengan hati-hati. Ketika aku menanyakan tentang AM Nasution ibu
langsung tidak enak. Hari aku mesti sedikit bersabar.
“Teman yang mana Lis…,”jawab ibu cuek.
“Teman kuliah ibu, Erni dan Lisa,”
“Memang kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu kepada ibu?”
“Aku cuman mau tau aja…sempat ada yang bisa aku jadikan pengalaman…boleh
yah bu,”
“Yah…oklah..asal kamu jangan bertanya macam-macam lagi,”
Aku mulai menanyakan kepada ibu tentang komunikasi terakhir mereka
bertiga. Ibu hanya menjawab berkomunikasi dengan Raya setelah selesai kuliah
sedangkan ibu tak pernah lagi berkomukasi dengan Erni.
Aku juga bingung…bagaimana aku bertanya tentang kebenaran kisah
dalam diary itu. Namun tak ada jalan selain menanyakan kepada ibu. Aku tak
punya sumber lain yang bisa memberikan kebenaran kisah yang membuat aku pusing
dan penasaran.
“Lalu ibu tahu di mana Raya sekarang tinggal?”
“Ibu tak tahu di mana rimba teman saya itu, sudah dua puluh tahun,
ibu tak pernah kontak dengan dia. Erni apalagi…sejak dia pergi bersama dengan janin
perempuannya.”
“Dari mana ibu tahu janin Erni seorang perempuan padahal Erni
pergi saat masih hamil,”
Ibu pun langsung menutup mulutnya dan berlalu begitu saja seperti tempo
hari. Karena aku sudah jenuh dengan sikap ibu. Maka aku pun mengungkapkan
kebenaran yang aku dapat dari diary itu.
“Nama ibu bukan Ainulia kan. Nama ibu sebenarnya adalah Erni,
teman Ainulia. Ia sudah mati. Gantung diri karena ditinggal pergi oleh suami
dan anaknya,” ungkapku.
0 komentar