Diskusi yang menarik antara penulis dengan salah
satu dosen Biologi UNM, Drs. Adnan M.S. Ia juga kandidat doktor ilmu pendidikan
pascasarjana UNM. Diskusi ini mengarah pada kegiatan akademisi yang lagi tren sekarang
ini.
Diskusi yang berlangsung kurang lebih dua jam itu
mengarahkan para pendidik mesti selalu meningkatkan keilmuan. Apalagi buat calon
pendidik, seperti penulis, pasti akan sangat butuh idealisme akademisi
sesungguhnya. Akademisi yang baik dan benar yakni bersembunyi di balik
argumentasi dan keilmuan bukan gelar status.
Tak pernah berhenti untuk membaca, membaca dan
membaca. Meski membaca memang adalah kegiatan yang memusingkan dan mengambil
waktu yang banyak ketimbang menulis.
Akademisi sering diartikan sebagai orang yang
berpendidikan. Nah...pendidikan di sini sering kali seseorang mengartikannya
sempit. Hanya sebatas untuk orang-orang yang terjun pada ranah kependidikan
seperti guru atau dosen pendidikan. Namun apakah seseorang yang tidak berlatarbelakang pendidikan memang
tak perlu tahu masalah pendidikan. Jawabannya yah pasti mesti harus mengetahui
pula. Akan lebih harus lagi kalau benar-benar mendalami ilmu pendidikan itu.
Menjadi seorang pendidik memang berat. Karena akan
selalu berhadapan dengan idealisme akademisi dan orang tua bagi siswa. Sering
kali idealisme kependidikan pendidik mesti digerus karena telah menjadi ayah
atau ibu bagi siswanya. Pendidik selalu berperang dengan batinnya. Apakah akan menjadi pendidik atau orang tua?
Menjadi seorang pendidik sebaiknya melakukan tugas
dengan senang hati. Tak mengejar materi apalagi hanya menjadikan profesi ini
untuk bersenang-senang, hingga tak mempedulikan hal lain yang memang tugas
utama pendidik yakni mengajar, mendidik, melatih dan mengevaluasi.
Selaiknyalah seorang guru di abad milenium ini menguasai
ilmu dan metode untuk peserta didik sekarang yang memang sangat berbeda dengan peserta didik masa lalu.
“The
21st century teacher is being harassed by a bugbear of inadequacies in his
teaching profession because he lacks many things. This has made functionalism
in education a mirage. His laboratory (classroom) is a wasteland; an “open
field” devoid of comfortable learning environment to adequately cater for the
needs of the burgeoning “hungry” learners. He lacks appropriate methodology to
work with in such an unfriendly environment and his scope of teaching does not
incorporate modern information and communication.”
Ismail O. Muraina, Peneliti yang sangat berpengalaman selama 23 tahun di bidang
kesehatan dan pendidikan.
Penulis sangat
terhentak membaca artikel ini. Kita sebagai calon pendidik memang terlena
dengan alam yang ada di negeri kita. Kita lupa bahwa pesatnya perkembangan teknologi
yang berkontribusi besar terhadap keseharian peserta didik sekarang memang
membutuhkan penanganan yang juga mesti di zamannya. Maka tak jarang negeri Indonesia selalu hanya akan menjadi konsumen bukan produsen ide atau gagasan pendidikan karena tak merasa membuat sistem pendidikan yang pas dengan latar belakang budaya, adat istiadat serta karakter asli masing-masing daerah.
Indonesia adalah negara yang majemuk, jadi sistem pendidikan di dalamnya juga mesti bervariasi. Bukannya menentang kesatuan dan keutuhan bangsa. Namun mesti pelan-pelan karena setiap daerah sama-sama mempunyai kekuatan masing-masing dan ciri khas. Jadi doktrinisasi tentang falsafah hidup negara mesti disampaikan kepada generasi pelanjut dengan cara yang kreatif, seperti film, dokumenter, pameran kebudayaan dan instrumen yang dekat dengan peserta didik. (*)
0 komentar