Beberapa hari yang lalu
penulis tercengang membaca berita tentang meninggalnya putera ketiga Mantan
Panglima TNI Jend (Purn) Wiranto, Zainal Nurriski (23) di Afrika Selatan. Putra
bungsu Ketua Umum Partai Hanura ini, meninggal dunia di Johanesburg, Afrika
Selatan, Rabu 29 Mei 2013. Dia menghadap Yang Kuasa saat sedang menuntut ilmu
agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Darul Uloom Zakariyya, Afrika Selatan.
Kita tak akan membahas
tentang mengapa dan bagaimana cara meninggal anak Wiranto. Tapi kita akan
membahas bersama tentang sosok Zainal yang juga seorang pen-dakwa. Ia masih
muda. Seumuran dengan penulis. Tapi dia berani dan mau mengambil jalan dakwa. Jalan
untuk menginformasikan agamannya. Jalan mencari Tuhan.
Setelah lepas dari
bangku SMA. Inal, sapaan akrabnya, sudah tertarik untuk berdakwa. Sejak itulah
ia memperdalam ilmu islam hingga ke Arab, India dan Pakistan. Hingga ia ikut jamaah
Tabligh untuk menyiarkan agama islam.
Setelah membaca
beberapa artikel mengenai Inal, maka penulis berpikir dan berdiskusi dengan ‘hati’.
Sejauh mana peran saya untuk kehidupan
akhirat? Apakah sekarang saya sudah ada di jalan yang benar? Apakah setelah
mendapatkan uang, rumah, motor akan memberikan kontribusi untuk akhirat? Apakah
nikmat Allah sudah saya balas atau setidaknya berniat untuk membalas meski mustahil
membalas nikmat-Nya? Apakah dengan aktivitasku sekarang adalah pro pencipta atau
malah menjadi pengkhianat atas janji sebelum lahir? Entahlah.
Namun satu yang pasti saya meyakini masih jauh dari kategori membela
agama. Nafsu masih dominan. Menyelimuti hampir semua aktivitas keseharian. Persoalan
kedekatan dengan pencipta hampir tak ada. Hampir semua aktivitas hanya untuk
dunia, dunia dan dunia. Yang fana. Yang hanya persinggahan. Aktivitas menuju
akhirat hanya sejam dalam sehari. Padahal justru aktivitas akhirat yang mesti
tinggi.
Pertarungan batin
antara memikirkan dunia dan akhirat berkecamuk. Memang saat sekarang pekerjaan
dan urusan dunia sangat mendominasi. Selain kebutuhan mendesak, selain itu
dunialah yang kita rasa sangat nyata. Untuk urusan akhirat seperti khayalan
yang tak tentu ada. Kita berpikir akhiratlah yang fana. Namun pemikiran tentang
akhirat tak akan datang tanpa kita ilmui. Ibarat bermain biola. Orang yang tak
berilmu akan memainkannya dengan suara fals dan tak enak. Sedangkan orang yang
berilmu akan memainkan biola dengan suara merdu dan tak jarang membuat orang
terhanyut hingga ingin memainkan biola juga.
Kita belum tahu ilmunya
sehingga sekarang akhirat tak perlu. Malah sering kita anggap adalah sebuah
omong kosong. Namun apakah kita sudah membaca semua referensi atau berdiskusi
dengan penggiat atau pemuka agama atau orang yang pro akan adanya akhirat
sebelum mengatakan pro atau kontra. Jangan-jangan cuman pikiran atau cuman
kata-kata dari orang yang juga kontra terhadap akhirat. Bukankah sebelum mengambil
keputusan kita mendengarkan atau membaca pihak pro dan kontra?
Orang-orang yang berada
pada jalur dakwa seperti telah mendapat ilham tentang kematian dan kehidupan
setelah mati atau akhirat. Sehingga mereka sangat getol di jalan tersebut. Bahkan
konsekuensi mati adalah hal yang mereka inginkan jika membela agama atau
keyakinannya.
Mereka rela
meninggalkan semua kesenangan. Mobil mewah. Rumah megah. Kehidupan yang
mumpuni. Mau ini dan itu selalu ada. Namun saya berpikir mereka melepaskan hal
itu dan membelanjakan harta mereka di jalan Allah hanya untuk satu kata. Keridhoan
Pencipta. Hal yang abstrak. Yang tak semua orang percaya. Namun bukankah agama
itu abstrak.
Penulis pernah
mengikuti kajian jamaah Tabligh sekali. Hasilnya memang membuat penulis sangat
takjub. Mereka berani mengajukan diri secara suka rela khuruj (keluar
berdakwah) di jalan Allah. Meninggalkan semua aspek keduniawian.
Khuruj versi jamaah
Tabligh biasanya dilakukan selama empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada
tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu.
Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara
berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain.
Penulis mulai berpikir
untuk berada di jalur membela dan hidup untuk Allah. Bagaimana dengan anda?
Wassalam. (*)
0 komentar