Perang Batin (2)

By Hamidah Foundation - 20.40


Beberapa hari ini perasaan sangat tak karuan. Bukan karena masalah akademik, keluarga dan hubungan dengan seseorang. Tapi masalah hubungan dengan sang pencipta. Instropeksi diri selalu mengarahkan untuk melepas aktivitas keduniawian. Entahlah perasaan apa ini yang jelas membuat khawatir dan tak tenang.

Bertanya dan mengeluh kepada orang tua dan teman-teman rasanya tak akan menyelesaikan kegalauan dalam diri. Pasalnya ini menyangkut keimanan. Perasaan ini muncul jumat lalu setelah berdiskusi tentang rencana kedepan dengan teman kuliah. Diskusi berlangsung selama satu jam lebih. Ia akan menjadi pengajar di sekolah sedangkan aku akan menjadi pebisnis. Dia akan berencana menikah tahun 2015 sedangkan aku tergantung izin dan petunjuk pencipta. Maka aku mengajukan sebuah pertanyaan kepada teman. “Setelah kita menikah, mempunyai uang banyak, punya keluarga dan semua kesenangan duniawi kecil maka setelah itu apa?” Ia menjawab “Menjalani semua itu sampai tua,” Aku kembali bertanya “bagaimana dengan urusan kelak di masa setelah mati? Bagaimana persiapanmu, aku masih tak punya nih.”

Aku dan teman terhenyut sebentar dan berpikir setelah kita semua keinginan dunia, harta, takhta dan wanita maka apakah hal itu akan berkontribusi dengan kehidupan akhirat. Kehidupan yang sebenarnya. Tempat kembali kita kepada Dia. Apakah dengan mengejar kekayaan dan ketenaran akan membuat ridho Allah akan kita gapai. Dari semua referensi yang telah aku baca maka urusan dunia mempunyai peran yang sangat kecil untuk urusan akhirat. Ini alasan pertama.

Selanjutnya aku menyaksikan sebuah film dokumenter dengan judul ‘Eropa Menuju Islam’. Perkembangan orang-orang yang mendapat hidayah dan menjadi muslim sangat banyak. Bahkan agama nenek moyang di negara-negara eropa perlahan-lahan ditinggalkan oleh umatnya. Semuanya karena mereka mendapat semua jawaban kebimbangan dan pertanyaan hanya di kitab Al-Quran. Dan ada kata-kata dari seorang muallaf Yunus (Matthies Ojeda Meger) dari Jerman yang kurang lebih seperti ini, ” Bagi saya muslim yg ada di jerman, maroko, dan prancis adalah muslim sejati karena kami yg memilih islam sedangkan mereka yg di indonesia saya tidak paham mereka hanya mengaku islam tapi tidak pernah mencari dan mendalami islam mereka hanya tahu sholat di hari jumat dan mendengarkan khotbah tanpa paham secara kaffah (menyeluruh),” ucapnya.

Aku juga termasuk Islam keturunan. Semua keluargaku adalah Islam keturunan. Mungkin hanya kakek moyangku yang Islam Muallaf. Ia mendapat hidayah dan mengambil jalan islam dengan nilai-nilai kebenaran di dalamnya.

Selama ini aku mengaku Islam. Namun banyak syariah dan ketentuan dalam agama ini aku langgar bahkan sengaja meninggalkannya. Maka layakkah aku disebut Islam?

Mungkin lingkungan yang membuatku menganggap bahwa itu tak masalah. Karena orang-orang di sekitarku juga seperti itu. ‘Hati’ memang selalu berkata bahwa perbuatan itu salah. Dan untuk membuktikan bahwa itu salah bagaimana, aku belum tahu.

Maka berbekal atas pembuktian bahwa Islam yang aku anut sekarang masih jauh dari nafas din ini sesungguhnya. Sekarang pencarian masih berlangsung. Mudah-mudahan Sang Pemberi Petunjuk memberikan jalan yang terbaik. Ini alasan kedua.

Selama hidup 23 di dunia ini, jiwa Islam yang aku rasakan tak bertambah. Justru makin bobrok. Lihat saja, dulu rajin ke masjid shalat berjamaah. Lah...sekarang cuman hari Jumat. Dulu puasa senin dan kamis tak pernah absen. Lah sekarang justru sering berbuat tak sopan dengan makan di depan orang puasa. Dulu khatam Al-quran sebulan sekali. Lah...sekarang hanya memandang dan membawanya kemana-mana ibarat jimat. Pokoknya semua mengarah pada hal-hal kemunduran.

Dan semua itu karena aktivitas duniawi yang terlalu banyak.

Inilah mungkin semua alasan, sehingga kegalauan semakin saja dalam dan membuat merasa bersalah kepada Pencipta, Allah SWT. Merasa menjadi penkhianat. Akhirnya aku semakin berpikir untuk meninggalkan semua aktivitas yang menyita urusan dengan Allah SWT. Secara perlahan-lahan. Mudah-mudahan Allah SWT menuntunku ke jalan yang benar. Jalan yang Ia ridhoi. Amin. (*)


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar