Beberapa hari ini perasaan
sangat tak karuan. Bukan karena masalah akademik, keluarga dan hubungan dengan
seseorang. Tapi masalah hubungan dengan sang pencipta. Instropeksi diri selalu
mengarahkan untuk melepas aktivitas keduniawian. Entahlah perasaan apa ini yang
jelas membuat khawatir dan tak tenang.
Bertanya dan mengeluh
kepada orang tua dan teman-teman rasanya tak akan menyelesaikan kegalauan dalam
diri. Pasalnya ini menyangkut keimanan. Perasaan ini muncul jumat lalu setelah
berdiskusi tentang rencana kedepan dengan teman kuliah. Diskusi berlangsung selama
satu jam lebih. Ia akan menjadi pengajar di sekolah sedangkan aku akan menjadi
pebisnis. Dia akan berencana menikah tahun 2015 sedangkan aku tergantung izin
dan petunjuk pencipta. Maka aku mengajukan sebuah pertanyaan kepada teman. “Setelah
kita menikah, mempunyai uang banyak, punya keluarga dan semua kesenangan
duniawi kecil maka setelah itu apa?” Ia menjawab “Menjalani semua itu sampai
tua,” Aku kembali bertanya “bagaimana dengan urusan kelak di masa setelah mati?
Bagaimana persiapanmu, aku masih tak punya nih.”
Aku dan teman terhenyut
sebentar dan berpikir setelah kita semua keinginan dunia, harta, takhta dan
wanita maka apakah hal itu akan berkontribusi dengan kehidupan akhirat. Kehidupan
yang sebenarnya. Tempat kembali kita kepada Dia. Apakah dengan mengejar
kekayaan dan ketenaran akan membuat ridho Allah akan kita gapai. Dari semua referensi
yang telah aku baca maka urusan dunia mempunyai peran yang sangat kecil untuk
urusan akhirat. Ini alasan pertama.
Selanjutnya aku menyaksikan
sebuah film dokumenter dengan judul ‘Eropa Menuju Islam’. Perkembangan
orang-orang yang mendapat hidayah dan menjadi muslim sangat banyak. Bahkan agama
nenek moyang di negara-negara eropa perlahan-lahan ditinggalkan oleh umatnya. Semuanya
karena mereka mendapat semua jawaban kebimbangan dan pertanyaan hanya di kitab
Al-Quran. Dan ada kata-kata dari seorang muallaf Yunus (Matthies Ojeda Meger) dari
Jerman yang kurang lebih seperti ini, ” Bagi saya muslim yg ada di jerman,
maroko, dan prancis adalah muslim sejati karena kami yg memilih islam sedangkan
mereka yg di indonesia saya tidak paham mereka hanya mengaku islam tapi tidak
pernah mencari dan mendalami islam mereka hanya tahu sholat di hari jumat dan
mendengarkan khotbah tanpa paham secara kaffah (menyeluruh),” ucapnya.
Aku juga termasuk Islam
keturunan. Semua keluargaku adalah Islam keturunan. Mungkin hanya kakek
moyangku yang Islam Muallaf. Ia mendapat hidayah dan mengambil jalan islam
dengan nilai-nilai kebenaran di dalamnya.
Selama ini aku mengaku
Islam. Namun banyak syariah dan ketentuan dalam agama ini aku langgar bahkan sengaja
meninggalkannya. Maka layakkah aku disebut Islam?
Mungkin lingkungan yang
membuatku menganggap bahwa itu tak masalah. Karena orang-orang di sekitarku
juga seperti itu. ‘Hati’ memang selalu berkata bahwa perbuatan itu salah. Dan
untuk membuktikan bahwa itu salah bagaimana, aku belum tahu.
Maka berbekal atas
pembuktian bahwa Islam yang aku anut sekarang masih jauh dari nafas din ini sesungguhnya. Sekarang pencarian
masih berlangsung. Mudah-mudahan Sang Pemberi Petunjuk memberikan jalan yang
terbaik. Ini alasan kedua.
Selama
hidup 23 di dunia ini, jiwa Islam yang aku rasakan tak bertambah. Justru makin
bobrok. Lihat saja, dulu rajin ke masjid shalat berjamaah. Lah...sekarang cuman
hari Jumat. Dulu puasa senin dan kamis tak pernah absen. Lah sekarang justru
sering berbuat tak sopan dengan makan di depan orang puasa. Dulu khatam Al-quran
sebulan sekali. Lah...sekarang hanya memandang dan membawanya kemana-mana
ibarat jimat. Pokoknya semua mengarah pada hal-hal kemunduran.
Dan
semua itu karena aktivitas duniawi yang terlalu banyak.
Inilah
mungkin semua alasan, sehingga kegalauan semakin saja dalam dan membuat merasa
bersalah kepada Pencipta, Allah SWT. Merasa menjadi penkhianat. Akhirnya aku
semakin berpikir untuk meninggalkan semua aktivitas yang menyita urusan dengan
Allah SWT. Secara perlahan-lahan. Mudah-mudahan Allah SWT menuntunku ke jalan
yang benar. Jalan yang Ia ridhoi. Amin. (*)
0 komentar