Dengan amarah yang
membara, Aku lanjutkan membaca diary
Ibu. Aku masih membaca kisah Ibu dengan Arsyad.
Dear Diary,
2 September 1986, Hari ini sudah
sebulan Aku kuliah. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris menjadi pilihanku. Aku berkenalan
dengan teman-temanku yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada juga dari tanah Papua. Aku sendiri adalah
pendatang dari Tanah Pasundan, Bandung. Aku ikut bersama Ayah dan Ibu yang
bermigrasi. Mereka sudah susah mencari uang untuk hidup di kampung halamanku. Sudah
10 tahun Saya di Kota Daeng, sebutan untuk Kota Ujung Pandang. Aku berteman
dengan Erni dan Raya. Mereka sahabatku. Erni berasal dari Bone. Sebuah kabupaten
terbesar di Sulawesi Selatan. Raya berasal dari Kepulauan Selayar. Erna orang
yang saleh. Ia berasal dari keluarga muslim dan sederhana.
Setiap
hari kami jalan sama. Mereka berdua belum mempunyai pacar. Hanya aku yang
punya. Erni dan Raya berasal dari keluarga yang mampu. Saya hanya anak dari
keluarga yang pas-pasan. Ibu seorang tukang cuci pakaian. Setiap hari Ibu
keliling kompleks asrama polisi hanya untuk mengorder pakaian mereka. Seribu
rupiah gaji Ibuku setiap minggu. Itupun disertai dengan protes sang klien. Bahkan
suatu waktu Ibu mendapat musibah. Baju polisi yang Ia cuci ternyata terlumeri
warna pakaian yang luntur. Akibatnya Ibu mesti mengganti pakaian tersebut. Ibu
tak sanggup membayar dan Ia pun mesti mencuci pakaian selama 3 bulan tanpa dibayar. Aku merasa sangat sedih. Aku
pun berniat untuk tak kuliah. Namun dorongan Ibu sangat kuat hingga akupun
tetap kuliah. Ayah seorang pekerja kasar. Tiap hari dia menjadi pesuruh di Pasar
Minasa Maupa, Sungguminasa, Gowa. Upahnya hanya cukup untuk makan saja. Membeli
pakaian dan peralatan rumah tangga hanya menjadi angan-angan kami. Tiap ada
perayaan besar umat Islam, agama kami, barang-barang dan makanan hanya berasal
dari tetangga. Menunggu adalah kebiasaan mutlak kami. Menunggu kasihan dari
orang lain. Menunggu punya uang untuk membeli selembar pakaian. Inilah
mungkin cita-cita terbesar keluarga kami. Keluhan kami tak ada yang mendengar. Mungkin
hanya buku ini tempatku untuk mengadukan semua keluh kesah.
Aku
sangat beruntung berkenalan dengan pacarku sekarang, Arsyad. Bagaimana tidak
semua mauku Dia turuti. Aku mau pakaian, sehari kemudian Dia sudah
membawakanku. Orangtuaku pun Ia berikan pakaian di kampung. Ia tak protes
dengan keluargaku yang serba tak memiliki. Setiap Aku kesulitan, Dia selalu ada
disampingku. Aku merasa aman. Aku menjadi ratu atas perlakuan Arsyad. Semua
keinginan dan angan-anganku menjadi nyata ketika Aku bersama Arsyad. Aku tak
tahu apa yang mesti kulakukan untuk membalas semua kebaikan Arsyad. Nampaknya
Aku benar-benar tak bisa hidup tanpa Dia. Hingga Aku pun berpikir untuk
membalas kebaikan Arsyad. Namun dengan apa. Aku orang tak berada. Dengan uang
Ia pasti sudah punya. Ayahnya seorang pengusaha besar. Dengan cinta, cintanya
lebih besar daripada Aku. Apakah mesti dengan tubuh dan jiwa ini, sehingga
menjadi impas untuk membalas semua kebaikannya. Hingga suatu malam yang
dingin di tepi Pantai Losari, Makassar Aku mencoba menanyakan kepada Dia maksud
perhatiannya.
“Arsyad,
mengapa Kamu baik sekali kepadaku?” tanyaku kepadanya.
“Aku
melakukannya kerana kamu begitu berarti buatku, Kamu seperti jiwaku. Jadi
apapun yang terjadi padamu pasti Aku rasakan. Sedihmu, senangmu, dan marahmu, Aku
bisa rasakan” jawabnya dengan menatap langsung ke mataku.
Aku
hanya terdiam dan tak sanggup bertanya apapun lagi kepadanya. Malam itu kami tak
berkata apapun. Hingga dia mengantarku ke kosku yang berada di belakang kampus.
Malam itu Aku tak bisa tidur. Perkataan Arsyad terus terbayang dalam benakku. Aku
semakin yakin Arsyad akan menjadi pendampingku untuk selamanya.
Tengah
malam yang tenang di kosku. Aku bangun untuk salat tengah malam. Doaku hanya satu.
Semoga Arsyad menjadi suamiku. Aku tak mau yang lain Ya Allah. Hingga Aku tertidur
di sajadahku. Pagi pun menyingsing. Aku pun bersiap menuju kampus. Seperti biasa
Arsyad sudah ada di depan gerbang. Erni dan Raya menggodaku karena selalu mendapat
jemputan dari kekasihku Arsyad. Dalam perjalanan menuju kampus, Kami tak berkata
apapun. Hingga Aku pun mengangis. Karena tak mendapat perhatian Arsyad.
“Mengapa
Kamu tak berbicara apapun,” tanyaku kepadanya.
Pertanyaan
ini Aku ulangi berkali-kali. Hingga sampai di kampus. Aku tepat turun di depan pintu
gerbang kampus Unesa. Dia mencap motornya pergi entah kemana. Dia tak masuk kampus. Sejak hari
itu Dia tak menghubungiku. Aku pun tak pernah
melihatnya. Aku bertanya kepada teman-temannya. Namun
tak ada yang tahu. Kucoba mencari informasi tentang keberadaan Arsyad di rumahnya.
Orang tuanya tak mau memberi jawaban atas pertanyaanku.
Hingga
suatu sore, sehabis pulang dari kuliah Aku melihatnya bersama seorang perempuan
lain. Perempuan itu cantik. Seksi. Dia dan Arsyad saling bercanda dan merangkul. Aku hendak
berlari menemuinya. Namun Arsyad dan perempuan itu terlanjur naik motor dan entah
kemana. Akupun bertanya siapakah dia?Apa hubungan dia dengan kekasihku?Apakah Arsyad
sedang selingkuh?
Hari
itu Aku merasa sangat kacau. Semua perasaan marah dan cemburu tercampur menjadi
satu. Aku merasa tak sanggup menahan pengkhianatan ini. Aku mau mengakhiri hidup
ini saja.
Bersambung di lain kesempatan
JANGAN LUPA SUBSCRIBE AKUN YOUTUBEKU!
JANGAN LUPA SUBSCRIBE AKUN YOUTUBEKU!
0 komentar