Dear Diary: Aku adalah Pelacur (5)

By Hamidah Foundation - 19.51



Akhirnya kami tiba di depan rumahku. Tak ada seorang pun menyambut kami. Aku mengajak Ibnu masuk namun dia tak mau. Nanti ada fitnah katanya. Akhirnya Ibnu menancap motor cross-nya. Aku memperhatikannya pulang hingga menghilang di belokan kompleksku. Tak lama Ibnu beranjak. Erni datang bersama seorang lelaki. Mereka mengendarai mobil Toyota Avanza. Mereka terlihat akrab. Tak sempat Aku berkenalan, lelaki itu meluncurkan kembali mobilnya. 

“Siapa itu kak?”
“Oh dia temanku di tempat kerja,jawab kakak singkat.
Kok tidak mampir dulu?”
“Katanya sedang buru-buru, jadi lain kali dia singgah.”

Aku tak bertanya lagi.
Sehabis mengganti pakaian Aku langsung menuju ruang rahasia. Aku mencari diary milik ibuku. Aku kembali membaca bagian selanjutnya. Judul bagian ketiga ini “Aku, Erni dan Raya”. 

            Dear Diary,
Hari ini, 28 Oktober 1986,  hampir dua bulan Arsyad meninggalkan Aku. Selama itu pula sakit hatiku menusuk. Aku belum bisa melupakan Arsyad. Bayang-bayang wajah dan tingkah lakunya masih menghantuiku. Aku merasa tak berarti lagi hidup di dunia ini tanpa Arsyad. Aku masih tak percaya dengan keadaan ini. Aku selalu berharap ini adalah mimpi. Hingga Aku terbangun dan Arsyad sudah berada di sampingku.

Berulang kali Aku mencoba bunuh diri namun Erni dan Raya selalu menyelamatkanku. Dua Minggu lalu Aku melakukan tindakan gila, mengiris nadiku. Tak ada seorang pun di kos malam itu. Erni sedang tak ada di rumah. Raya keluar membeli makanan dan perlengkapan sehari-hari. Seketika pun darah mengucur. Kucuran darah semakin deras. Aku hanya menatap kosong waktu itu. Tak memedulikan nasibku akan berakhir. Hingga Aku tak sadarkan diri. Aku merasa telah mati.

Aku terbangun dan melihat jarum infus telah menusuk bagian tanganku. Bekas irisan pisau sudah diperbam. Raya dan Erni telah menungguiku di samping pembaringanku.
“Dimana Aku?
“Kamu di rumah sakit Ainulia,jawab Erni.
“Di mana Arsyad?”
“Ainu… Arsyad tak ada di sini.”
“Dimana kekasihku?” Suaraku semakin meninggi.
Semua orang menatapku. Erni dan Raya mencoba menenangkanku. Suaraku semakin keras saja. Aku menjerit. Histeris. Kamarku menjadi gempar.
“Nyebut Ainu, nyebut. Astagafirullah!” kata Raya seraya menenangkanku.
Beberapa saat Aku menjerit, datang seorang suster. Ia menyutikkan sebuah obat penenang. Aku kembali tak sadarkan diri.

Upaya bunuh diriku ini tak sampai ke telinga orang tuaku. Mungkin Erni dan Raya tahu mereka tak akan bisa menerima kenyataan ini. Aku pun tak akan menyalahkan mereka jika tak memberikan kabar kepada orang tuaku di kampung. Aku juga sadar akan membuat kecewa jika kabar memalukan ini sampai ke mereka.

Seminggu Aku rawat inap di rumah sakit. Uang perawatan dibayar oleh Erni dan Raya. Uang kiriman bulanan mereka gunakan untuk menuntaskan biaya rumah sakitku. Saat Aku keluar dari rumah sakit. Raya mengatakan kepadaku ada kiriman dari orang tuaku. Isinya sepuluh liter beras, ikan kering, pisang dua sisir dan uang saku sebanyak Rp10.000 serta sepucuk surat dari ibuku. 

            Untuk Anakku tersayang Ainulia,
            Assalamu Alaikum Warahmatulahi Wabarakatuh
Bagaimana kabarmu anakku, semoga sehat wal afiat selalu. Kami di kampung baik-baik saja. Ayahmu sering menceritakan ananda kepada sanak keluarga di sini. Ia membanggakan ananda akan menjadi orang sukses yang akan mengangkat harkat dan martabat keluarga. Sampai-sampai Ayah menolak ajakan besan dari kepala desa. Katanya, “Anakku hanya akan aku kawinkan dengan pria yang ia cintai,” tolaknya.

Oh iya, Bagaimana kabar pacar ananda, nak Arsyad? Semoga dia juga sehat. Sampaikan rasa terima kasih kami kepadanya atas kiriman pakaian dan kebutuhan pokok lainnya. Ayahmu juga selalu membanggakan pacarmu itu. Ia menceritakan kepada hampir semua orang kampung bahwa ananda menjalin kasih dengan anak orang kaya. Ibu malu karenanya. Tapi entah mengapa ayahmu masih saja percaya diri akan ucapannya.

Sudah dulu yah Ainu, kalau ananda sempat balas surat ini! Jaga kesehatan! Banyak belajar! Doa kami mengiringimu selalu.

Assalamu alaikum Warahmatulahi Wabarakatuh
Ibu dan Ayah

Air mataku mengalir sejadi-jadinya setelah membaca surat ibu. Aku semakin terpukul. Merasa bersalah. Ibu masih menganggap Aku dan Arsyad masih bersama. Aku tak akan bisa melihat reaksi ibu dan ayah jika melihat keadanku saat ini. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa Aku sudah tak menjalin lagi hubungan dengan Arsyad. Pasti Ayah akan syok dan bias-bisa mengikuti jejakku untuk bunuh diri. Aku tak mau mereka mengetahui keadaanku ini. Aku pun mengatakan kepada Raya dan Erni untuk tak memberitahukan keadanku kepada mereka.

Tak ada yang berubah setelah Aku keluar dari rumah sakit. Hatiku tetap gundah gulana. Wajah Arsyad masih terlukis dibenakku. I still remember my lovely. Apalagi kata-kata ayah yang membanggakan Arsyad semakin menggerus hatiku. Sejak saat itu, hatiku tak lagi mempunyai ruang untuk lelaki lain.  

Raya dan Erni mencoba mengobati luka batinku dengan mengajakku jalan, menyibukkanku dengan aktivitas kuliah, mengajakku masuk ke lembaga kemahasiswaan, hingga mengenalkanku dengan lelaki lain.
“Ainu…besok kita jalan-jalan ke Air Terjun Takapala, Malino yuk,” ajak Erni.
“Benar Ainu, aku juga mau berwisata nih, apa lagi libur akhir semester ganjil,” sambung Raya.

Aku hanya terdiam dan menganggukkan kepala. Pertanda setuju.

Hari libur yang dinanti Erni dan Raya pun tiba. Mereka mempersiapkan keberangkatan kami. Bekal perjalanan, pakaian ganti, akomodasi, dan carter mobil pun mereka sudah urus. Aku tinggal berangkat. Biaya tak ada yang kutanggung. Semua mereka yang bayar. Setelah menempuh perjalanan selama  dua jam. Akhirnya hawa dingin Malino menyambut kami. Kabut menghalangi pemandangan. Rendahnya suhu memaksa kami memakai baju berlapis tiga. Kami bermalam di penginapan dekat Air Terjun Takapala. Dua hari kami di Malino. Hawa dingin Malino mampu membekukan traumaku. Aku sudah dapat tersenyum. Keceriaanku kembali sedikit demi sedikit. Aku sudah dapat mengobrol lepas dengan sahabatku Erni dan Raya.

Sepulang dari Malino, Aku kembali beraktivitas seperti biasa.
Upaya mereka sejengkal demi sejengkal membuahkan hasil. Aku sudah tak mengurung lagi di dalam kamar. Aku sudah tak mau lagi bunuh diri. Tapi untuk urusan membuka hati pada lelaki lain belum bisa Aku lakukan.

Aku pun tak pernah lagi melihat Arsyad. Kata teman-temannya, ia pindah kuliah ke Jakarta. Aku juga tak terlalu memedulikan dia. Rasa ketergantunganku kepada Arsyad sudah sirna. Untuk memenuhi kebutuhanku Aku mulai kerja paruh waktu. Mengajar privat untuk anak SD hingga SMA, Aku ambil. Bekerja kasar di rumah makan pun, Aku sambar. Hasil dari kerjaan ini sudah mampu membiayai kuliahku dan kebutahanku sehari-hari. Aku mulai berpikir untuk bekerja lebih keras lagi untuk mengirimi orang tuaku uang.

Dear Diary
16 September 1987, Setahun berselang, setelah Aku merasakan pedihnya ditinggal kekasih tanpa alasan yang jelas. Aku sudah menjadi orang yang baru. Tahun ini memasuki satu setengah tahun Aku menjadi mahasiswi di kampus Unesa. Kesibukkanku semakin bertambah. Aku juga menjadi fungsionaris di lembaga kemahasiswa yang bergerak di bidang HIV/AIDS.

Kuliahku selesai sore ini. Aku, Erni, dan Raya berencana akan pulang bersama. Namun entah mengapa Erni membatalkan pulang bersama. Katanya dia akan ke toko serba ada (Toserba) untuk membeli sesuatu.

“Kalian duluan aja pulang, ada yang mau saya beli di Toserba dekat kampus,” kata Erni.
“Kami temani yah,” timpal kami bersamaan.
“Tidak usah, saya hanya sebentar,”selah Erni.

Entah mengapa hari ini Erni bertingkah aneh. Tak biasanya dia pergi sendiri. Biasanya bersama Aku atau Raya. Tadi pagi memang Erni lama sekali mandi. Biasanya dia paling cepat mandi. Mukanya pun pucat.

“Kemarin saya melihat Erni marah-marah di telpon, tapi saya tak mengetahui sebab dia marah,” ungkap Raya.

Aku dan Raya sudah berada di rumah. Erni belum pulang. Dia masih belanja di toserba dekat kampus. Lama kami menunggu namun Erni tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Kami sudah tidur. Suara teriakan terdengar dari dalam WC.

“ Itu suara Erni,kataku pada Raya.
“Benar, Ayo bergegas ke sana,” jawab Raya.
Setelah tiba di depan pintu WC. Tiba-tiba Erni memeluk kami berdua. Ia menangis. Kami tak tahu sebabnya.

Bersambung di lain kesempatan.....

JANGAN LUPA SUBSCRIBE AKUN YOUTUBEKU!


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar