Kemacetan
yang melanda Makassar belakangan ini memang sudah merisaukan sekaligus
menjengkelkan bagi masyarakat. Bagaimana tidak biaya yang dibutuhkan untuk
menuju dan keluar pusat kota menjadi besar. Polusi yang ditimbulkan juga
semakin tak terkendali, ditambah lagi tingkat stres yang semakin tinggi. Yang
berkontribusiterhadap dosa yang semakin banyak mengingat hujatan, teriakan dan
emosi dari pengguna jalan yang tak segang-segang dilontarkan kepada pengguna
jalan lain.
Empat
tahun lalu Makassar memang belum terlalu macet. Menurut data
makassarkota.go.id, volume kendaraan tahun 2008 sebanyak 771 ribu. Pada tahun
2012 mengalami peningkatan sebanyak 45% yakni 1,7 juta kendaraan baik roda dua
dan roda empat. Peningkatan yang signifikan ini tak diimbangi dengan luas jalan
dan pengembangan kota untuk menampung jumlah kendaraan yang ada di Makassar saat
ini.
Praktis
dengan jumlah kendaraan yang terus meningkat kemudian tak diimbangi dengan luas
jalan mumpuni, regulasi yang acak-acakan maka bukan tak mungkin dalam kurung
waktu lima tahun ke depan Makassar akan menjadi kota yang tak layak huni karena
kesulitan orang untuk beraktifitas.
Regulasi Tranportasi Lemah
Pengaturan
jumlah dan jalur kendaraan di Makassar memang cukup meprihatinkan melihat data
dari Dinas Perhubungan Kota Makassar, jumlah kendaraan tak sesuai dengan fakta
di lapangan atau mengalami penggelembungan. Data kendaraan pete-pete sebanyak 4.253
unit, namun yang beroperasi diperkirakan 8.000 unit.
Namun
yang mengherankan adalah data sudah ada di tangan namun kenapa kendaraan yang
berjumlah 3000 lebih dari jenis pete-pete ini bisa melenggang bebas menyusuri
jalan-jalan di Makassar?
Kasus
lain yakni jumlah roda empat milik pribadi di Makassar telah mencapai 40.000
atau lima kali lipat kendaraan pengakut massal yang beroperasi. Hal ini membuat
kemacetan pasti lebih parah lagi. Karena jumlah kendaraan milik pribadi
biasanya hanya mengangkut maksimal 4 orang. Namun sering hanya satu orang saja.
Pengambilan
Surat Izin Mengemudi (SIM) pun sarat akan manipulasi. Seseorang dengan gampang
mendapat SIM dengan hanya merogoh kantong sebangak Rp250-Rp300 ribu rupiah.
Maka SIM pun sudah ada di tangan dalam hitungan jam.
Izin
trayek angkutan umum yang tak lengkap maka akan mudah dinegosiasikan dengan
petugas razia.
Selain
itu zaman sekarang orang dengan sangat mudah membeli kendaraan. Dengan uang
muka Rp500 ribu maka seseorang sudah bisa mendapatkan motor mentereng.
Di
sinilah terlihat regulasi tentang lalu lintas di Makassar sangat lemah.
Banyak
solusi yang telah diterapkan oleh pemerintah kota Makassar namun tak berhasil
mengurai kemacetan. Penutupan jalur memutar dan pelebaran badan jalan di Jalan
AP Pettarani, Jalur Fly Over di Jalan Urip Sumoharjo, pembuatan pembatas jalan
di jalur protokol. Jalur pejalan kaki di sulap menjadi jalanan kendaraan. Tapi berakhir dengan kemacetan yang lebih
parah. Dana besar untuk proyek-proyek ini tak memberi solusi.
Macet adalah Akibat Sistemik
Kemacetan
di Makassar adalah akibat yang sistemik. Mempunyai hubungan dengan angka
penduduk, ekonomi, dan kepentingan penduduknya. Angka penduduk dan ekonomi
memang sudah jelas. Makin banyak penduduk maka makin banyak yang ingin
menggunakan kendaraan. Semakin tinggi strata ekonomi seseorang maka makin kuasa
pula Ia menentukan jenis dan jumlah kendaraannya. Selanjutnya adalah kepentingan
penduduk. Saya memasukkan latar belakang penyebab macet ini karena mempunyai
hubungan dengan keinginan dari masing-masing masyarakat yang ada di Makassar. Seseorang
mempunyai kendaraan karena ingin. Entah itu ingin dipuji, dihargai, dipandang
mulia, bisnis atau hanya sebagai hobi. Seorang yang ingin dipuji, dihargai,
dipandang mulia pasti akan melakukan apapun untuk mewujudkan keinginannya. Termasuk
membeli kendaraan yang bagus. Semakin besar bisnis seseorang pasti mempunyai
kendaraan banyak untuk mendistribusikan produknya.
Sekarang
pemerintah Makassar seharusnya mengubah cara pandang “banyak kendaraan mesti
banyak jalan”. Jika sang pemegang kuasa menerapkan prinsip ini maka macet tak
akan pernah terhenti. Sebab seperti yang tertera di atas angka penduduk pasti
akan meningkat yang biasanya diikuti tingkat ekonomi aktif dan tinggi.
Tiap
tahun akan makin banyak orang membeli kendaraan. Kelahiran tak terkendali
menyebabkan peningkatan jumlah penduduk. Orang yang sudah membeli motor akan membeli
mobil. Tak cukup satu dan merasa model mobil sudah ketinggalan zaman lagi maka
orang itu pun membeli mobil baru. Kenapa tidak, rata-rata orang yang mempunyai
uang banyak pastinya mempunyai lebih dari satu kendaraan.
Pemegang
kuasa di Makassar meski berpikir untuk menaikkan status keluarga berencana dari
himbauan menjadi hukum/undang-undang. Cina saja yang sudah menerapkan satu
pasangan satu anak tetap kewalahan menekan angka kelahiran. Indonesia khususnya
Makassar mesti melakukan pencegahan terhadap ledakan penduduk. Tak ada yang
menyangkal jika makin banyak penduduk maka pasti lapangan kerja dan tempat
bermukim pasti akan sulit. Tingkat kemiskinan menanjak. Orang-orang yang
menderita otomatis bertambah banyak lagi. Apakah pemegang kuasa mengingkan ini?(*)
1 komentar
silahkan komentari tulisan ini!
BalasHapusMari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!