Hingga suatu siang sehabis mata
kuliah writing. Aku bertemu dengan pengkhianat cintaku, Arsyad. Ketika melihatku
dia tak langsung menghindar. Aku pun mengejar Dia namun tak kudapati dirinya.
“Arsyad,
Tunggu! Aku mau bicara denganmu” teriakku.
Namun Arsyad tetap tak peduli
denganku. Ia tetap berlari. Menerobos taman kampus. Menabrak orang-orang yang
berjalan di lorong kampus. Orang-orang di kampus memelototiku. “Sudah gila Dia? hingga berteriak histeris di tengah
kampus,” bisik seorang mahasiswi.
Nafasku terasa sesak mengejar Arsyad.
Apa daya Ia terlalu cepat. Kesempatanku berbicara dengan lelaki pengkhianat sirna
sudah. Dia menghilang entah kemana. Bagaikan ditelan bumi.
Kecewa meliputiku. Benci
semakin besar. Rasa cinta yang dulu ada kini telah pupus. Bagaikan tablet yang jatuh ke danau. Hilang tak berbekas. Tak mungkin kembali lagi ke wujudnya
menjadi tablet. Aku sangat terpukul. Jiwaku kosong. Serasa ingin mati. Kiamat
seakan sudah terjadi padaku.
Kejadian hari ini membuatku
mengurung diri dalam kamar. Aku tak mau makan. Apalagi mengingat tingkah
laku Arsyad yang drastis berubah. Setiap Aku memikirkannya. Air mata ini terus
saja mengucur tanpa Aku sadari. Sangat menyakitkan. Aku sangat terpukul. Mungkin
ini yang dinamakan sakit hati. Setiap Aku merasa tegar. Saat itu juga perasaan
sakit hatiku terus menusuk. Hari ini Aku berjanji tak akan setia lagi dengan
seorang lelaki. Lelaki semua sama. Mereka adalah pengkhianat. Tukang selingkuh.
Aku bersumpah akan membalas perlakuan ini pada mereka.
Setelah Aku membaca diary Ibu pada bagian kedua ini. Aku
merasa sangat kasihan pada kisah Ibu ketika masih kuliah dulu. Kisah ini memang
tak pernah Ibu ceritakan kepada kami, anaknya. Mengapa Arsyad tega mencampakkan
Ibu yang sangat cinta kepadanya? Mengapa Arsyad tak mau bertemu dengan Ibu? Bagaimana
kelanjutan kisah Ibu selanjutnya? Mengapa nama teman Ibu sama dengan adik dan kakakku? Pertanyaan ini
yang Aku mau cari tahu.
Tak terasa sudah sejam
aku membaca kisah Ibu. Aku pun menyimpan kembali diary-nya di tempat semula. Biarlah Aku simpan rasa penasaranku
terlebih dahulu. Besok Aku akan kembali membaca buku ini.
“Lisa, dimana kamu?”teriak
Ibu kepadaku dari arah dapur.
“Iya bu, Saya datang,”
sambutku dengan mengendap-endap, jangan sampai ada seorang yang tahu Aku dari ruangan
ini.
“Nak, bantu Ibu
menyiapkan makan malam,” pinta Ibu kepadaku.
Makan malampun tiba.
Ayah, Ibu, Aku, Erni dan Raya duduk bersama di meja makan. Ayah dan Ibu
kelihatan sangat perhatian. Sangat mesra. Aku hanya terdiam dan menatap kosong akan
kemesraan mereka. Ibu seperti tak pernah mendapat masalah dalam hidupnya. Everything is fine. Mungkin janjinya di diary-nya Ia tepati. Ia tak akan
mengingat kembali kisahnya saat masih kuliah dulu. Aku terus teringat diary Ibu. Hingga Ibu membangunkanku
dari lamunan.
“Nak, ada apa, kamu
mengkhayal yah?” tanya Ibu.
“Kamu memikirkan siapa,
pasti seorang anak laki-laki yah, Ayo mengaku!” goda Ibu kepadaku.
“Tidak! Ibu bercanda
saja,” jawabku cepat.
Ibu memang benar. Aku
memikirkan Arsyad. Mengapa ada seorang laki-laki yang kejam begitu?
Mudah-mudahan Aku tak mendapat lelaki seperti Arsyad.
Sehabis makan malam dengan
keluarga kecilku, Kami pun langsung menuju kamar masing-masing. Kami bersaudara
masing-masing mempunyai kamar pribadi. Rumah kami cukup luas. Hidup kami masuk dalam kalangan strata menengah ke atas. Ibu
seorang guru SMA. Ayah seorang pengusaha sukses. Setiap minggu Ayah bersama
karyawannya keliling daerah. Ayah jarang di rumah. Cuman tujuh hari dalam
sebulan Ayah tinggal di rumah. Seminggu itu hanya untuk melepas kangen pada keluarga
dan sisanya mengambil pakaian.
Hari ini Aku berangkat
ke kampus Unesa bersama Ayahku. Kami banyak mengobrol tentang kisah pertemuan
Ayah dengan Ibu. Ayah mengatakan pertemuan pertama dengan Ibu terjadi setelah mereka
sama-sama lulus dari tempat kuliah masing-masing. Ibu kuliah di Unesa, kampusku
sekarang. Sedangkan Ayah berasal dari Universitas Negeri Parepare. Waktu itu,
Ayah tinggal di Parepare sedangkan Ibu tinggal di Gowa. Pertemuan mereka
terjadi ketika Ayah melancong ke Gowa 23 tahun silang. Ayah bertemu Ibu di
suatu pelatihan. Ayah sekelompok dengan Ibu. Di sinilah benih-benih cinta mulai
ada. Hingga tak membutuhkan waktu lama, mereka pun naik pelaminan. Ayah sampai
sekarang memang tak tahu aktivitas ketika Ibu masih kuliah. Dengan siapa Ibu
berhubungan? Siapa teman-teman Ibu?Ini semua tak pernah Ibu ceritakan kepada
Ayah. Aku berpikir memang Ayah tak tahu masa lalu Ibu termasuk diary yang kini menjadi istrinya.
Tak habis ceritaku
dengan Ayah akhirnya Aku sampai juga di kampus. Sebelum Aku turun dari mobil. Ibnu, my best friend, sudah menunggu. Ibnu
memang sudah menjadi sahabat karibku sejak masih mahasiswa baru dulu. Perhatiannya
kepadaku melebihi teman-teman lain. Aktivitas kuliah, tugas, kerja kelompok selalu
kami kerjakan bersama. Bahkan teman se kampus menganggap kami pacaran.
Padahal tidak. Justru setelah Aku membaca diary
Ibu, Aku mencoba menolak semua kebaikan Ibnu kepadaku. Aku tak mau bernasib
seperti Ibuku yang dicampakan oleh lelaki yang baik padanya.
Kelas sudah bubar. Ibnu
mengajak Aku ke kanting kampus. Kami cuman berdua. Canda tawa
mengiringi makan siang kami. Tiba-tiba Ibnu melontarkan kata-kata ingin berpacaran
denganku.
“Bagaiman kalau status hubungan
kita ditingkatkan menjadi berpacaran,” kata Ibnu sambil tertawa lepas.
“Kamu serius Ibnu?”jawabkan
mendesak.
“Iya, aku serius,” tegas
Ibnu kembali.
Aku pun kembali teringat
dengan diary Ibuku. Ibnu mirip dengan
Arsyad. Kebaikannya sama dengan kekasih Ibuku ketika kuliah. Aku menolak ajakan
Ibnu. Aku beralasan tak mau dulu berpacaran. Tapi sebenarnya Aku takut Ibnu seperti
Arsyad. Aku tak mau bernasib seperti Ibuku.
bersambung lagi....tunggu kelanjutannya di lain kesempatan.
JANGAN LUPA SHARE DAN SUBSCRIBE AKUN YOUTUBEKU!
JANGAN LUPA SHARE DAN SUBSCRIBE AKUN YOUTUBEKU!
0 komentar