Dear Diary: Aku adalah Pelacur (4)

By Hamidah Foundation - 19.46



Aku sebenarnya mau menerima ajakan Ibnu. Aku cinta Dia. Namun Aku takut Ibnu menjadi Arsyad. Ibu mungkin sanggup namun Aku sangsi jika kejadian ini menimpa padaku. Aku sudah termakan kalimat-kalimat diary Ibu. Aku tak bisa membendung perasaan untuk menolak Ibnu. Meski hati ini mengatakan iya. Maafkan Aku Ibnu yang telah membohongimu.
“Maaf yah Ibnu, Aku belum siap, Aku mau sendiri dulu,” jawabku.
“Tak apa-apa Lis,” tanggap Ibnu dengan nada kecewa.

Ibnu tak memperlihatkan kekecewaannya dengan penolakanku. Dia tak memaksaku. Sikapnya membuat Aku tambah respect padanya. Perasaan cintaku padanya semakin besar. Tapi lagi-lagi kalimat-kalimat Ibu memaksaku untuk memendam rasa ini dalam-dalam. Sampai tak ada celah untuk meluapkan perasaan cintaku. Yang tak dapat Aku percayai sikap dan perhatian Ibnu tak berubah kepadaku.

Hari ini Ibnu berencana mengajakku mampir ke rumahnya. Tanpa berpikir panjang ajakannya Aku terima. Dalam perjalanan ke rumahnya Ibnu banyak bercerita tentang latar belakang keluarganya. Ayah Ibnu adalah alumni Unesa jurusan Bahasa Inggris angkatan 84.
“Ayah dulu kuliah di Jurusan Bahasa Inggris,” ungkap Ibnu
“Satu jurusan dong dengan Ibuku.”
“Memang Ibumu angkatan berapa?”
“Ibuku angkatan 86.”
“Berarti junior ayahku yah.”
“Benar. Siapa nama ayahmu?”
“Jalaluddin Rahmat.”
“Oh…Nanti Aku Tanya Ibuku, Apakah kenal dengan Ayahmu.”
“Iya. Ayahku sekarang tak berada di rumah. Dia keluar daerah.”
Andai Ayah Ibnu ada di rumahnya, Aku akan tanya tentang kisah Ibu dengan Arsyad. Mungkin saja Ayah Ibnu tahu kisahnya.

Tanpa terasa perjalanan kami serasa singkat. Aku dan Ibnu sudah sampai di rumahnya. Motor cross-nya Dia parkir  di bagasi. Rumah Ibnu sangat besar. Bertingkat dua. Model rumahnya ala Eropa. Dari luar terlihat bak istana. Ada taman luas di depan rumah. Berbagai macam tumbuhan dan bunga tumbuh di halaman. Mobil keren dan mahal berjejer di parkiran. Honda City dan Toyota Fortuner dibiarkan begitu saja terparkir tanpa ada pelindung cahaya matahari. Penjaga rumah terlihat siap siaga selalu.

Memasuki rumah, Aku semakin takjub dengan interior rumahnya. Tengah rumah ini sangat luas. Perabotan rumah terlihat sangat mahal. Kursi tamu terbuat dari kayu hitam bercap made ini Jepara. Terdapat lukisan dengan nilai seni tinggi dengan tanda tangan tangan, Affandi, Maestro Seni Lukis Indonesia. Aku merasa minder datang ke rumah Ibnu. Aku tak pernah menduga Ibnu adalah anak orang sukses. Setiap hari Ibnu ke kampus dengan pakaian yang lusu, tak pernah disetrika. Memakai motor cross dengan body lecet sana-sini. Tak pernah dicuci. Suara bising. Asap tebal mengepul.  Tak jarang motor Ibnu mendapat sindiran dan celaan. Dikatakan Obat nyamuk-lah.  Fogging -lah. Kaleng bekas-lah. Banyak lagi yang tak bisa Aku ungkapkan. Ibnu santai saja menanggapi sindiran dan celaan mereka. Dia justru percaya diri saja memakai motor cross-nya.

“Emang, apa kerjaan Ayahmu?”
“Ayahku kerja sebagai konsultan di Dinas Pendidikan Sulsel.”
“Pantas.”
“Pantas apanya Lis?”
“Pantas rumahmu besar, ayahmu orang kaya.”
Hari ini Aku seperti orang yang baru memasuki istana. Aku seperti orang bodoh melongok sana sini. Bertanya sesuatu yang tak penting. Kegirangan sendiri. Tak lama kemudian ibunya muncul.
“Ibnu siapa perempuan cantik ini,”
“Teman kelas Ibnu bu,”
“Kenalkan, aku Siska, ibu Ibnu,dengan uluran tangan mengarah kepadaku.
“Lisa bu, teman kelas Ibnu,sambutku.

Senyum hangat terpancar dari bibir ibu Ibnu. Ibu Ibnu pun mengajak kami menuju ruang makan. Semua makanan sudah tersedia. Sajiannya seperti restoran berbintang lima yang terlihat di televisi. Aku baru melihat makanan semewah ini. Paling tinggi yang pernah Aku tempati makan cuman di restoran cepat saji milik Negara Amerika Serikat. Itu pun bersama teman-teman. Ibu tak sempat membawa kami ke restoran. Ayah apa lagi, ia sangat jarang  di rumah. Meski kami bisa juga ke restoran. 

Suasana makan siang menjadi ajang nostalgia ibu Ibnu sewaktu masih kuliah. Aku hanya tertunduk. Menjawab jika ditanya. Habis itu kembali malu dan back to first position, menundukkan wajah. Tak terasa dua jam kami duduk bertiga di meja makan. Kami telah menyelesaikan santap siang satu setengah jam lalu. Selebihnya adalah cerita tentang kuliah ibu Ibnu, pertemuan ibu dan ayah Ibnu, masa kecil Ibnu. Hari ini Aku tahu banyak tentang keluarga dan Ibnu sendiri. Namun hal itu belum bisa menghancurkan bendungan rasa takutku untuk menyambut cinta Ibnu. Sehabis cerita panjang dengan Ibnu dan ibunya, Aku mohon diri.
“Sering-sering yah mampir ke rumah!”pesan ibu Ibnu.
“Pasti bibi,” jawabku sambil mencium tangannya.
Ibnu pun mengambil kembali motor cross-nya. Suara motornya sudah berderu. Aku sudah naik. Ibu Ibnu pun mengantar kami.
“Mengapa kamu tak naik mobil ke kampus?”
“Ah. Aku malas. Cewek-cewek kampus godain aku.”
“Kamu PD sekali akan digoda cewek-cewek kampus.”
“Lihat aja teman-teman yang pakai mobil ke kampus, mereka kan selalu digoda, uangnya diperas, terus ditinggalin oleh serigala-serigala berperawakan cantik bernama perempuan.”
“Kamu benar juga.”
“Saya juga melihat mereka masuk ke dunia hitam. Memakai obat-obatan, minum-minum hingga berakhir di panti rehabilitasi BNN. Akhirnya masa depan mereka hancur,”timpal Ibnu.
“Betul juga yah.”

bersambung 

JANGAN LUPA SUBSCRIBE AKUN YOUTUBEKU!


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar