Baso sudah selesai dari kampus. Cucuran keringat
telah membasahi seluruh tubuhnya selama kuliah. Tak terhitung sudah pengorbanan
yang dia lakukan. IPK-nya sangat bersaing. Ia berencana mendaftar di perusahaan
milik negara. Kalau di atas kertas ia sudah melenggang menjadi pegawai. Ujian
sudah dijalani. Baso yakin lulus. Namun dari 10 nama yang lulus. Tak satu pun bernama
Baso. Setelah ditelusuri kesepuluh nama yang lulus berlatar belakang anak-anak
pejabat dan pengusaha terpandang. Baso hanya anak petani miskin yang cerdas. Siapa
dia, bukan anak pejabat atau anak konglomerat. Ia protes dan jawaban yang
diterima, kamu siapa? Akhirnya ia berjuang dan menjadi pemimpin salah satu
perusahaan Negara. Orang yang bernasib sama datang ke dia meminta kerjaan maka
dia menjawab, kamu siapa? Inilah label.
***
Suatu hari seorang ibu ingin ke rumah sakit. Anaknya
sakit. Si anak perlu berobat. Sakit si anak memang sudah parah. Namun apa daya dasar
si ibu juga miskin. Tak punya banyak uang. Ia dan anak kena penolakan. Tak ada
tempat untuk mereka. Dari semua rumah sakit yang mereka mintai pertolongan tak
ada yang menerima. Akhirnya si anak meninggal dunia. Si penjaga rumah sakit
berkata, kamu siapa? Tak ada tempat untuk kamu dan anakmu. Ini juga label.
***
Cerita terakhir ini terinspirasi dari kisah tragis bayi
Dera Nur Anggraini di Jakarta beberapa bulan yang lalu. Kisahnya berakhir tragis.
Si Dera meninggal.
Hal yang ingin saya sampaikan kepada teman-teman
adalah manusia memandang seseorang itu dari label mereka. Siapa dia?Apa
pangkatnya?Siapa keluarganya? Berapa uangnya? Meski kita sebelumnya pernah
bernasib sama dengan orang yang pernah menderita.
Zaman sekarang memang tak banyak berubah. Meski
Negara kita sudah menganut sistem DEMOKRASI. Sistem yang paling dianggap
efektif dan adil untuk semua elemen masyarakat. Roh demokrasi di setiap daerah memang
sama. Namun bukan roh Pancasila. Masih banyak daerah yang mengedepankan jabatan
dan kedudukan. Siapa yang mempunyai jabatan maka akan diperlakukan bak raja. Lihatlah perlakuan untuk si
pemimpin. Mereka mendapat fasilitas super wah.
Orang-orang yang iri jika mencapai kedudukan itu
juga hampir dipastikan bersifat yang sama. Karena sakit hati. Rakyat yang
tertindas akan pasti memberontak. Membuat kekacauan. Bahkan mereka ingin
merdeka. Keluar dari sistem dan membuat Negara sendiri untuk kaum mereka. Mana
tak kala Negara sudah dianggap tak adil.
Jadi jika kita andaikan sistem demokrasi adalah
pakaian. Meski berganti tetap akan bersifat sama. Karena roh Negara kita masih
tetap monarki.
Beberapa saat yang lalu seorang mantan jenderal TNI
mengatakan bangsa ini belum bisa menerima sistem demokrasi. Karena budaya yang
tak sesuai. Jika ditilit memang sistem ini belum dapat membuat Negara ini maju.
Karena yang kita ganti adalah pakainya. Kita tak mencoba memperbaiki isi-nya.
Jiwa-nya. Roh-nya.
Bukan tak mungkin sistem ini akan terus berubah.
Namun jika jiwa-nya tetap sama. Maka tak akan ada perubahan. Korupsi akan tetap
merdeka. Kekacauan tetap ada. Ketidakadilan akan tetap langgeng.
Jiwa Negara ini adalah keanekaragaman. Setiap daerah
mempunyai adat istiadat dan budaya yang berbeda. Kedaerahan masih sangat
terasa. Sangat kental. Hal ini membuat Negara ini tak akan bisa maju cepat.
Karena ketidakadilan masih diangang-angang. Bayangkan saja seorang pemimpin
yang memimpin biasanya hanya mementingkan pribadi dan golongan. Sangat jarang yang
adil meski itu dengan daerah non
basis.
Hal ini memang perlu diperhatikan dan diselesaikan.
Amerika Serikat butuh 200 tahun untuk mengakui keanekaragaman tentang warna
kulit. Barack Obama menjadi pemecah dinginnya tembok warna kulit. Negara ini
mempunyai banyak budaya, adat istiadat dan kepercayaan. Apakah butuh waktu lebih
dari Amerika Serikat. Bisa jadi! Jika itu terjadi maka Negara ini akan lama
berkutat pada masalah ini. Masalah lain akan terpinggirkan, yang perannya juga
krusial. Seperti ekonomi, kesejateraan, pendidikan.
Pemimpin memang masih dianggap raja dari sekian
daerah di NKRI. Saya juga heran kenapa NKRI sering diganti NRI. Menurut saya
ini sangat beda.
Sudah selayaknya kita sadar dan kembali ke khitah
Bhinneka Tunggal Ika. Meski berbeda tetap satu. Negara ini adalah Negara
Kesatuan, yang menghormati tiap-tiap pendapat. Bukan Kerajaan. Bukan perusahaan,
yang menentukan kebijakan adalah direksi.
Tak menganggap seseorang dari latar belakangnya.
Dari mana dia berasal. Dari golongan mana dia. Apakah orang miskin atau orang
kaya.
Akhirnya saya berdoa kepada Tuhan. Mudah-mudahan
banyak orang miskin. Karena kalau banyak orang kaya maka dunia akan kacau.
Pengrusakan alam semakin tak terhindarkan. Karena mencari kekayaan sekarang
lebih banyak melalui jalan-jalan ilegal. Tak memperdulikan Tuhan maupun kepentingan
alam dan manusia. (*)
2 komentar
padahal semestinya ketika kita tahu bagaimana rasanya di perlakukan tidak adil, maka kita tidak akan berbuat hal yang sama terhadap orang lain..
BalasHapusKarena kita sudah tahu, itu sangat menyedihkan.. Tapi ternyata tidak semua orang punya akal untuk berpikir atau punya hati untuk merasa!
Nice post,
salam persahabatan
yah..banyak manusia berdusta...berdusta kepada diri sendiri maupun orang lain...
BalasHapusMari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!