Dear Diary: Aku adalah Pelacur (10)

By Hamidah Foundation - 16.41



Ketakutanku terbantahkan setelah bisa mengirimkan surat padamu sekarang. Namun masa-masa sebelum surat ini sampai baikan neraka bagiku. Ainu, aku ingin menceritakan masa-masaku di penjara. Sangat kelam. Menyakitkan. Selama setahun aku dipenjara. Tak terhitung persidangan yang kulalui hingga tingkat Mahkamah Agung. Entah berapa uang yang kuhabiskan. Aku sempat merasa frustasi. Harapanku hancur berkeping-keping. Namun parcel harapan itu aku rangkai. Meski hancur kembali diterjang badai fitnah. Aku tak tahu energi apa ini, yang jelas hanya untuk melihat kamu walau yang terakhir. Aku pertaruhkan apa yang ada pada diriku.

Hidup di bui bagaikan masuk ke dalam neraka dunia. Tak ada kebebasan. Di sini berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Uang dan pengaruh adalah rajanya. Aku mesti menjalani sebagai budak penjahat kelas kakap. Sungguh kisah hidup yang sangat pahit. Sampai pahitnya aku tak bisa lagi merasakan kesakitan yang lebih dari itu. Aku merasa beginilah mungkin siksaan di neraka nanti.
Tendangan. Sengatan listrik. Pukulan pentungan besi pun aku rasakan.

Aku sebenarnya ingin sekali menghilang dari duniamu. Namun rasa rinduku benar-benar sudah tak dapat ku bendung. Dua tahun aku menahan desakan melepas rinduku. Namun tubuh dan ragaku benar-benar kolaps.

Hingga akhirnya kesampaian juga melepas rindu. Meski hanya surat. Mungkin kamu masih ingin tahu kisahku tiga tahun belakangan ini. Aku tak mau menceritakannya lebih banyak. Ingin rasanya kuhapus dari memoriku. Aku pun bermunajat supaya diberikan penyakit Anterograde amnesia. Supaya semua ingatanku yang baru terjadi aku lupakan. Hanya ada kisah lama. Cerita kebersamaan kita berdua. Masa bahagia dan indah. Tak ada penderitaan batin seperti sekarang yang aku rasakan.

Mungkin ini saja dulu Ainulia. Terserah kamu mau menanggapi apa. Aku terima. Meski kamu tak mau balik lagi kepadaku. Sudah banyak penderitaan yang kamu alami. Aku tak mau lagi menambah dan membebanimu.

Kekasihmu,
Arsyad


Air mata dan penyesalan melingkupi setelah menamatkan surat Arsyad. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kusangka pengorbanannya begitu besar. Aku sangat bodoh tak mencoba mencari tahu lebih jauh lagi. Lebih detail lagi. Alasan Arsyad meninggalkanku. Aku cepat menyerah. Menyerahkan cintaku pada takdir. Andai aku tahu. Aku sangat menyesal perlakuanku kepada dia. Membenci orang yang sangat menyukaiku. Aku tak tahu harus berkata apa kepada Arsyad. Rasa terima kasih tak akan cukup. Meski aku ucapkan berjuta-juta kali.

Sehabis membaca suratnya, aku ingin langsung mencari Arsyad. Aku ingin meminta maaf karena salah menilainya.

Namun Raya justru berkata lain. “Ainu…jangan cepat percaya, telusuri dulu kebenarannya,!”

Aku sontak kembali berpikir. Jangan-jangan Arsyad bohong. Ia hanya merangkai cerita. Mengarang tentang kisahnya selama menghilang.

Aku pun tak lantas percaya. Aku pun bingung. Keluarga Arsyad sudah tak ada lagi di kota ini. Teman-temannya pun sudah lama hengkang dari kampus. Hatiku sudah lama beku. Beku akan namanya. Apalagi hatiku sudah punya Arif.

Namun untuk membuktikan prasangkaku benar. Aku pun mencari kebenaran tentang cerita Arsyad. Seminggu aku berputar-putar mencari informasi namun tak kudapat.  

Sebulan berlalu. Tak ada apapun informasi yang kudapat.

Aku baru sadar ternyata bulan ini, Arif akan datang. Dalam suratnya bulan lalu, ia berjanji akan menemuiku. Aku pun ke kampus. Tak ada Arsyad. Memang akhir-akhir ini dia tak menemuiku. Aku pun mulai yakin, dia hanya mengarang cerita.
Tak lama aku sampai di kampus, Arif pun datang. Ia hanya sendiri. Tenyata tampangnya lebih gagah dibandingkan di fotonya. Maklum fotonya hitam putih. Kami pun bersalaman. Saling lirik. Tersipu malu. Dia mulai bercerita tentang dirinya, pekerjaanya dan keluarganya. Ia tak pernah punya kekasih. Katanya fokus dulu menjadi mapan. Sekarang dia sudah mapan. Katanya aku adalah perempuan pertama yang membuatnya tertarik untuk merajut kasih. Ia pun bertanya, “kamu pernah punya kekasih?” sontak aku gugup meski jawab apa.
“Iya…”jawabku pelan.
“Hem…,”sambil melepaskan senyum.

Kami menghabiskan waktu di bangku sudut jurusanku. Kami tertawa bareng. Aku tak menyangka begitu cepat akrab dengan Arif.

Tiba-tiba Arsyad muncul di hadapan kami. Air mukaku langsung berubah. Aku panik. Apa yang mesti aku perbuat? Apakah harus menghindari Arsyad? Aku harus memilih Arif atau Arsyad? 

Bersambung deh…

JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAMKU!

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar