Maaf...Aku Egois

By Hamidah Foundation - 11.17

Dear Anugrah Rahman...

Entah mengapa hari ini aku mengingatmu. Tak ada tanda-tanda wajah dan namamu terbayang hingga bulan ini akan berakhir.  Oh iyya... kamu masih ingat tidak kejadian empat tahun lalu. Tepatnya akhir Maret. Ugha (panggilan akrabmu) bulan ini kita jadianloh. Menjadi sepasang kekasih.Kekasih yang lagi kasmaran. Hingga tak ada kata pun selain sayang. Kamu sering memanggilku Rendy. Panggilan sayangmu padaku. Saat itu pertama kalinya aku mengatakan ‘say’ kepada perempuan.

Sampai hari ini aku masih ingat cara kamu mengungkapkan perasaanmu kepadaku. Sebenarnya aku yang mau lebih dulu. Namun keburuan kamu yang bilang. Aku sangat senang hari itu. Hingga tak bisa lagi berkata selain iya. Oke. Setuju.

Ketika itu jam menindik pukul 09.35 WITA. Aku hendak menuju rektorat bersama seniorku. Tiba-tiba handphone Nokia di sakuku berdering. Namamu tertera.
“Di manaki ini?” tanyamu di ujung telepon.
“ Di Lotus (jalan pinta dari dan ke kampus) Teknik, lagi menuju rektorat,” jawabku santai.
“Eh...status hubunganta’ pacaran toh,” sergapmu.
Aku kaget. Kaget sejadi-jadinya. Kok... kamu mengatakan itu. Aku tak pernah menduganya. Namun hatiku tak bisa menolakmu. Karena hubungan kita memang sudah jauh. Kamu perhatian. Baik. Solusi atas masalahku. Tempat bersandarku ketika sedang rapuh. Mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris yang ceplas-ceplos. Aku suka. Hingga sukaku membuat aku hanya diam ketika kamu bicara. Aku hanya dapat memperhatikan setiap curahan hatimu di telpon.

Kamu sering kali menegurku. “Kok...melamun?” Namun aku tak bisa berkata-kata selain menjadi pendengar yang baik waktu itu. Mendengarkan pengalamanmu seharian. Pengalamanku serasa tak penting lagi kuutarakan karena rasa lelah dan gundah sirna setelah mendengar suaramu.

Kamu masih ingat tidak? Pameran budaya di Celebes Convention Center. Tempat itu tak akan pernah aku lupakan. Kita pertama kali kencan di situ. Aku mengajakmu jalan-jalan. Memakai motor. Aku memintamu tetap memakai jilbab. Awalnya kamu ingin melepas hijabmu. Namun aku menyarankan supaya tetap memakainya. Ketika aku menjemputmu di Perumahan Dosen UNM, kosmu, aku sangat bahagia. Kamu begitu cantik dan anggun. Kerudung abu-abu menutupi mahkotamu. Aku semakin yakin denganmu. Yakin hubungan kita akan bertahan lama.

Selama menjadi pacarmu memang aku sangat bahagia. Aku tak tahu apakah kamu bahagia. Harapku kamu merasakan hal yang sama.

Yang aku sesalkan adalah cara kita putus. Putus begitu saja. Sebabnya sampai sekarang masih samar-samar. Namun yang pasti aku perlahan pahami adalah sikap egoisku. Mementingkan aktivitasku. Menomorsatukan kegiatan pribadi dan lembagaku. Akhirnya membuat kamu merasa punya pasangan tapi tak bisa disentuh, ditatap dan diajak mengobrol. Bagaikan pacar khayalan hanya bisa menyapanya melalui pesan singkat. Tak ada raut wajah.

Ugha...sampai saat ini aku tak pernah minta maaf. Melalui surat ini aku menundukan kepala dan meminta maaf padamu. Mungkin rendahanyah...menunduk kepala. Namun aku tahu kamu sakit hati. Benar-benar sakit. Hingga tak mau menghubungiku. Hanya ada kata putus dan putus dalam katamu waktu terakhir kita intens SMS-an.

Dulu sebenarnya aku ingin balikan kepadamu. Namun aku sangat takut berbuat yang sama. Menyakitimu. Ingatkah kamu bertanya kepadaku beberapa bulan setelah kata putus terucap di SMS-mu.
“Kamu sudah punya pacar sekarangsay.”
“Dimana kamu tahu?” tanyaku balik.
“Facebook.”
“Iya...kami bahkan berencana akan menikah setelah selesai kuliah.” Jawabku santai.

Sebenarnya waktu itu aku bohong. Bukan tak mau balikan kepadamu namun aku benar-benar belum siap.

Dua tahun yang lalu aku mengatahui kamu menjaling hubungan dengan lelaki. Lelaki yang aku kenal. Aku akrab bersua dengannya dulu. Seniormu di lembaga kemahasiswan tempatmu dulu bernaung. Awalnya aku cemburu. Namun lama-lama aku bahagia. Karena melihatmu bahagia bersama dia. Melihat perempuan yang kita cinta bahagia membuat kita ikut juga senang. Aku berdoa semoga hubunganmu lancar. Seperti di Jalan Tol Reformasi. Tak ada hambatan.
Sekarang aku sudah mau selesai. Rabu depan, jika tak ada arah melintang, aku akan seminar hasil penelitian. Semoga bulan April sudah sarjana. Kamu gimana? Dulu kamu janji akan selesai 2013. Seperti aku.

Akhir tulisan ini izinkan aku tetap menjadi bagian memorimu. Meski itu di sudut dan kecil. Aku pun tak pernah melupakanmu. Perempuan yang menginspirasi. Perempuan yang melunturkan gundah dan keluh kesahku. Perempuan yang menyadarkanku akan keegosianku. Telah menyia-nyiakan seorang perempuan yang mencintai dan menyukaiku. Terima kasih pernah singgah dan mengisi hatiku.

Salam Mantanmu, Muh. Hasim ‘Rendy’ Arfah

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar

Mari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!