Dear My Life Partner

By Hamidah Foundation - 21.48



sumber gambar: http://www.kampungtki.com
Mukadimah
Menulis tulisan ini memang terkesan lebay. Galau. Parahnya lagi, mungkin dianggap terlalu berangan-angan. Namun aku beralasan menurunkan tulisan ini karena seseorang pasti butuh kompas. Petunjuk arah untuk menemukan pendamping hidup atau bahasa sastranya si tulang rusuk yang hilang.

Maka dari itu, kita juga perlu membuka hati.  Memberikan informasi kepada siapapun. Seseorang yang mungkin cocok dengan karakter kita. Karena jodoh boleh siapa pun. Boleh di mana pun. Boleh kapan pun bertemunya. Tak peduli sekarang. 10 tahun lagi, atau bahkan 30 tahun lagi. Masa uzur kita. Saat diri menganggap tak punya harapan lagi bertemu dengan sang kekasih hidup. Saat rasa pesimis sudah tertanam dalam diri. Maka tiba-tiba dia datang. Waktunya pun sekejap mata, si dia sudah menjadi istri atau suami kita. Memang tak ada yang bisa menebak dengan benar siapa, kapan dan dimana jodoh itu. Namun yang jelas jodoh yah mesti dicari.

***

Dear Jodohku

Memulai tulisan ini aku bertanya-tanya kepada diri sendiri. Kamu lagi bikin apa sekarang? Kamu sehat? Kamu memikirkan aku tidak? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang ingin aku ungkapkan.

Aku berdoa kepada Allah SWT, supaya kamu diberikan kenikmatan dan rahmat dalam menjalani kehidupanmu. Aku sangat kangen bertemu denganmu. Namun rasa kangen ini aku bendung. Hingga jika ketemu dengan kamu ingin kutumpahkan semua rasa ini. Sampai kamu merasa wanita paling bahagia. Paling berarti di dunia kita bersama. Dunia terasa hanya milik kita bersama. Mungkin terasa terlalu berangan-angan. Namun yah ini mungkin cita-citaku bersama kamu. Sebuah ekspektasi hubungan kita berdua.

Aku selalu merindukan rumah kita nanti berada di tepi pantai. Rumah ini berada di atas tebing. Pemandangan langsung menghadap ke laut. Laut yang masih bersih. Bukan tempat wisata seperti di Tanjung Bira, Bulukumba. Di sekitar rumah kita berdiri sebuah yayasan pendidikan. Yayasan ini punya sekolah. Sekolah untuk anak-anak yang tak mampu. Tak mampu biaya maupun akses pendidikan.

Aku bekerja sebagai pengajar. Mengajar anak-anak ini supaya lepas dari ketidaktahuan. Pekerjaan ini memang sudah lama aku dambakan. Bahkan ibuku telah lama berdoa kepada pencipta supaya aku menjadi seorang pendidik.

Kamu mau kerja apa? Itu terserah kamu saja. Mau menjadi pengajar. Menjadi ibu rumah tangga. Menjadi apapun maumu. Aku tak mau terlalu mengekang kamu.  Tapi aku berharap kamu menjadi seorang peneliti. Supaya pendidikan di tempat kita nanti bisa berkembang. Setidaknya sekolah kita nanti menjadi inspirasi untuk sesama.

Jika kita punya anak. Aku ingin punya tiga anak. Anak pertama menjadi seorang penulis. Aku ingin dia menulis kisah keluarga kita. Anak kedua menjadi seorang peneliti biologi. Aku ingin anak kita ini memberikan inspirasi kepada semua manusia bahwa kehidupan itu sangat penting. Apalagi sekarang ini seseorang kurang menghargai kehidupan. Lihat saja di sekeliling kita banyak manusia tega membunuh makhluk lain. Meski mereka sudah mengatahui akibatnya. Seperti penebangan hutan yang tak terkendali, pencemaran lingkungan dan masih banyak lagi. Anak kita yang terakhir ini kita ajar dia menjadi seorang  pembicara yang ulung. Aku ingin membuat ia dapat menyampaikan kepada dunia tentang kebajikan. Seperti KH Agus Salim di Indonesia atau Pejuang HAM Martin Luther King. Aku sangat mengagumi tokoh ini. Mereka tak pernah berhenti melawan ketakadilan sampai ajal memanggil.

Namun aku tak akan menolak dan membantah tawaranmu tentang masa depan anak kita. Kamu berhak. Sangat berhak mengatur kehidupan. Karena adalah otak untuk anak-anak kita. Apapun yang kamu ajarkan akan sangat berimplikasi pada kehidupan mereka kelak. Meski peranku juga tak bisa dipisahkan. Inilah yang mesti kita diskusikan sama-sama.

Ada banyak yang ingin aku diskusikan bersama kamu. Tentang rencana kita mengarungi bahtera kehidupan. Tentu menjalani kehidupan tak semulus yang kita pikirkan. Namun disinilah fungsi kita berdua. Mendiskusikan apapun yang akan kita lakukan. Ibarat sebuah perusahaan. Tak ada pemegang saham dominam. Kita mempunyai hak dan kewajiban yang hampir sama. Terlalu perhitungan yah mengandaikan sebuah perusahaan sebagai suatu kehidupan. Aku memang ingin selalu berpikir rasional. Dalam menjalani kehidupan pasti butuh ‘bensin’. Makanan dan tempat yang layak kita huni.

Sekarang aku sedang bekerja. Apapun itu. Memantaskan diri. Jika kita bertemu aku sudah siap menjadi pendamping kamu. Aku juga sedang menyusun rencana kehidupan kita. Aku sudah copy. Aku sudah beritahu kepada keluarga terkait rencanaku. Mereka setuju. Kata ayah dan ibu, “Apapun rencana kamu, kami sudah setujui.”
Ah…aku sudah tenang sekarang. Aku sudah memberitahumu sebagian rencana kita setelah bersumpah hidup bersama. Lain kali jika ada rencana lagi akan aku kirimkan surat kedua untukkmu.

From Your Partner
Muhammad H. Arfah

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar

Mari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!