sumber gambar: http://www.kampungtki.com |
Mukadimah
Menulis tulisan ini memang terkesan lebay. Galau. Parahnya
lagi, mungkin dianggap terlalu berangan-angan. Namun aku beralasan menurunkan
tulisan ini karena seseorang pasti butuh kompas. Petunjuk arah untuk menemukan pendamping
hidup atau bahasa sastranya si tulang rusuk yang hilang.
Maka dari itu, kita juga perlu membuka hati. Memberikan informasi kepada siapapun.
Seseorang yang mungkin cocok dengan karakter kita. Karena jodoh boleh siapa pun.
Boleh di mana pun. Boleh kapan pun bertemunya. Tak peduli sekarang. 10 tahun
lagi, atau bahkan 30 tahun lagi. Masa uzur
kita. Saat diri menganggap tak punya harapan lagi bertemu dengan sang kekasih
hidup. Saat rasa pesimis sudah tertanam dalam diri. Maka tiba-tiba dia datang. Waktunya
pun sekejap mata, si dia sudah menjadi istri atau suami kita. Memang tak ada yang
bisa menebak dengan benar siapa, kapan dan dimana jodoh itu. Namun yang jelas
jodoh yah mesti dicari.
***
Dear Jodohku
Memulai tulisan ini aku bertanya-tanya kepada diri
sendiri. Kamu lagi bikin apa sekarang? Kamu sehat? Kamu memikirkan aku tidak? Dan
masih banyak lagi pertanyaan yang ingin aku ungkapkan.
Aku berdoa kepada Allah SWT, supaya kamu diberikan
kenikmatan dan rahmat dalam menjalani kehidupanmu. Aku sangat kangen bertemu
denganmu. Namun rasa kangen ini aku bendung. Hingga jika ketemu dengan kamu
ingin kutumpahkan semua rasa ini. Sampai kamu merasa wanita paling bahagia. Paling
berarti di dunia kita bersama. Dunia terasa hanya milik kita bersama. Mungkin terasa
terlalu berangan-angan. Namun yah ini mungkin cita-citaku bersama kamu. Sebuah
ekspektasi hubungan kita berdua.
Aku selalu merindukan rumah kita nanti berada di
tepi pantai. Rumah ini berada di atas tebing. Pemandangan langsung menghadap ke
laut. Laut yang masih bersih. Bukan tempat wisata seperti di Tanjung Bira,
Bulukumba. Di sekitar rumah kita berdiri sebuah yayasan pendidikan. Yayasan ini
punya sekolah. Sekolah untuk anak-anak yang tak mampu. Tak mampu biaya maupun
akses pendidikan.
Aku bekerja sebagai pengajar. Mengajar anak-anak ini
supaya lepas dari ketidaktahuan. Pekerjaan ini memang sudah lama aku dambakan. Bahkan
ibuku telah lama berdoa kepada pencipta supaya aku menjadi seorang pendidik.
Kamu mau kerja apa? Itu terserah kamu saja. Mau menjadi
pengajar. Menjadi ibu rumah tangga. Menjadi apapun maumu. Aku tak mau terlalu mengekang
kamu. Tapi aku berharap kamu menjadi
seorang peneliti. Supaya pendidikan di tempat kita nanti bisa berkembang. Setidaknya
sekolah kita nanti menjadi inspirasi untuk sesama.
Jika kita punya anak. Aku ingin punya tiga anak.
Anak pertama menjadi seorang penulis. Aku ingin dia menulis kisah keluarga
kita. Anak kedua menjadi seorang peneliti biologi. Aku ingin anak kita ini
memberikan inspirasi kepada semua manusia bahwa kehidupan itu sangat penting.
Apalagi sekarang ini seseorang kurang menghargai kehidupan. Lihat saja di
sekeliling kita banyak manusia tega membunuh makhluk lain. Meski mereka sudah
mengatahui akibatnya. Seperti penebangan hutan yang tak terkendali, pencemaran
lingkungan dan masih banyak lagi. Anak kita yang terakhir ini kita ajar dia
menjadi seorang pembicara yang ulung.
Aku ingin membuat ia dapat menyampaikan kepada dunia tentang kebajikan. Seperti
KH Agus Salim di Indonesia atau Pejuang HAM Martin Luther King. Aku sangat
mengagumi tokoh ini. Mereka tak pernah berhenti melawan ketakadilan sampai ajal
memanggil.
Namun aku tak akan menolak dan membantah tawaranmu
tentang masa depan anak kita. Kamu berhak. Sangat berhak mengatur kehidupan.
Karena adalah otak untuk anak-anak kita. Apapun yang kamu ajarkan akan sangat
berimplikasi pada kehidupan mereka kelak. Meski peranku juga tak bisa
dipisahkan. Inilah yang mesti kita diskusikan sama-sama.
Ada banyak yang ingin aku diskusikan bersama kamu. Tentang
rencana kita mengarungi bahtera kehidupan. Tentu menjalani kehidupan tak
semulus yang kita pikirkan. Namun disinilah fungsi kita berdua. Mendiskusikan
apapun yang akan kita lakukan. Ibarat sebuah perusahaan. Tak ada pemegang saham
dominam. Kita mempunyai hak dan kewajiban yang hampir sama. Terlalu perhitungan
yah mengandaikan sebuah perusahaan
sebagai suatu kehidupan. Aku memang ingin selalu berpikir rasional. Dalam
menjalani kehidupan pasti butuh ‘bensin’. Makanan dan tempat yang layak kita
huni.
Sekarang aku sedang bekerja. Apapun itu. Memantaskan
diri. Jika kita bertemu aku sudah siap menjadi pendamping kamu. Aku juga sedang
menyusun rencana kehidupan kita. Aku sudah copy.
Aku sudah beritahu kepada
keluarga terkait rencanaku. Mereka setuju. Kata ayah dan ibu, “Apapun rencana
kamu, kami sudah setujui.”
Ah…aku sudah tenang sekarang. Aku sudah
memberitahumu sebagian rencana kita setelah bersumpah hidup bersama. Lain kali
jika ada rencana lagi akan aku kirimkan surat kedua untukkmu.
From Your Partner
Muhammad H. Arfah
0 komentar
Mari berkomentar dengan santun dan bertanggung jawab!