Malam itu
hawa malam terasa menusuk hingga tulang. Badanku kututupi hingga tiga lapis
selimut. Aku tak bisa memejamkan mata hingga subuh. Hanya bunyi suara jam dinding
bagaikan langkah seseorang menemani. Sepeti orang yang ingin mencabut nyawaku. Membuat
aku takut. Kututup telinga namun tetap terdengar suara jam ini. Hingga suara
azan terdengar, aku masih terjaga bersama suara seram jam dinding.
Suara
hentakan kaki terdengar di bawah kolom rumah. Terdengar suara kaki yang
sedang mengendap-endap. Aku berpikir itu suara ambo, bapak pemilik rumah. Tempat kami tinggal. Aku
pun coba mengintip. Aku melihat sosok lelaki berbadan tegak. Wajahnya samar.
Karena kondisi masih gelap. Ia berlari ketika aku berteriak. Ia menjatuhkan
sesuatu. Aku mendekat. Kudapati bunga Edelweis. Bunga yang sering aku dapati dari orang misterius belakangan ini. Aku pun menduga, orang inilah yang
mengirimkanku bunga selama ini. Teriakanku membangunka seisi rumah.
“Kenapa
kamu berteriak Ainu?” Tanya Helmi.
“Seseorang
tadi mengendap-endap di kolom rumah, sepertinya dia ingin melakukan hal tidak
benar,” jawabku cepat.
“Sekarang
di mana dia, kamu tidak dilukai?tanya Raya.
“Tidak. Aku
baik-baik aja, ia sudah lari pas aku berteriak.”ujarku dengan menyembunyikan
bunga Edelweis di belakangku.
Selain
bunga Edelweis, Ia juga menjatuhkan peci. Aku menduga ia dari shalat subuh di
masjid. Siang hari aku menuju masjid dekat posko. Aku menanyakan pada pengurus
masjid tentang pemilik peci yang aku
temukan subuh tadi. Mereka juga tak tahu. Aku kecewa dengan jawaban pengurus masjid. Tapi penasaranku sudah berkurang karena aku tahu dia seorang lelaki di daerah ini. Aku sudah mendapatkan
petunjuk, meski hanya sebuah peci.
Setiap
subuh aku menunggu, orang yang menaruh bunga Edelweis. Sudah seminggu aku
menunggu ia tapi berakhir dengan tangan hampa. Ia tak pernah datang lagi. Hingga KKN berakhir
dia tak pernah muncul. Aku kecewa sekaligus sedih. Aku tak tahu mengapa
bersikap demikian.
Aku bersama
keempat temanku telah menyelesaikan program kerja kami selama KKN. Laporan pun
sudah hampir rampung. Kami sudah berpamitan dengan dengan tokoh masyarakat dan
lurah. Hari untuk pulang ke rumah masing-masing telah tiba. Dengan perasaan
mengharu biru, kami pamit pada ibu dan ambo. Pemilik rumah, tempat kami tinggal
selama dua bulan. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Kami akan berpisah. Kami
mungkin tak akan bertemu lagi. Meski kami satu kampus. Aku pun akan selalu
penasaran dengan lelaki pengirim bunga itu. Orang yang dapat mengetahui
perasaanku dengan hanya memperhatikanku dari jauh. Aku sangat rindu dan ingin
melihat wajahnya.
Bus sudah
ada di depan posko. Tanda kami harus pergi.
Meninggalkan Parepare. Barang-barang sudah dinaikkan. Kami pun siap berangkat.
Aku makin berat meninggalkan kota ini. Perasaanku masih tak karuan. Aku akan
meninggalkan perasaan di kota ini. Entah apa nama persis perasaan ini. Yang
jelas aku jatuh cinta dengan lelaki pengirim bunga itu. Aku cinta dengan kata-kata dan semangatnya
untuk aku. Meski aku tak tahu raut wajahnya. Aku pun berdoa. Ya Tuhanku, jangan
engkau buat aku tersiksa begini dengan meninggalkan perasaan kepada lelaki
lagi. Aku sudah tak kuat menahan derita. Namun Tuhan tak mengijabah doaku. Aku meninggalkan
Parepare dengan kenangan dan kembali menyiksaku. Aku menangis dalam hati. Ketika
aku terdiam. Raya memberikanku sepucuk surat dan seikat bunga Edelweis. Aku kaget
dan heran.
“Kemarin, seorang
lelaki memberikanku surat dan bunga ini. Namanya Arif. Orang cakep. Baik. Ia sudah
sarjana. Arsitek. Katanya dia minta maaf karena terlalu pengecut menemui kamu. Ialah
yang sering mengirimkan kamu bunga. Ia memintaku untuk memberikanmu surat dan bunga
ini setelah kita meninggalkan Parepare.” ungkap Raya.
“Bodoh. Kenapa
dia terlalu pengecut menemuiku,” gumamku.
“Kamu jatuh
cinta yah pada Arif,” celetup Raya.
Wajahku memerah.
Aku menutup mukaku. “Ah…mana mungkin, orang itu tak aku kenal,” tampikku.
Namun aku tak
mau mengungkapkan bahwa aku memang jatuh cinta pada Arif. Aku jatuh cinta untuk kedua kalinya. Aku menyangka tak akan jatuh cinta lagi pada lelaki. Aku membaca suratnya selama
perjalanan ke Sungguminasa. Aku merasa sangat senang. Ia mengatakan suka dan tertarik
denganku. Ia tertarik denganku karena sikapku yang dingin terhadap lelaki. Ia ingin
menolongku. Mengembalikan keceriaan yang telah lama hilang. Ia berjanji akan menemuiku
di Sungguminasa bulan depan. Aku sangat senang hingga meluapkan dengan tertawa lepas.
Lima jam perjalanan
terasa singkat. Aku tak henti-hentinya mengumbar senyum. Aku tak ingat lagi perasaan
benciku pada lelaki. Aku ingin meluapkan perasaan ini dengan melompat dan berteriak.
Tapi aku menahan. Aku akan lakukan jika sampai di rumah. Aku berlari pulang. Barang-barangku
aku titip pada Raya. Tak sampai setengah jam, aku sampai di rumah. Aku membuka kamar.
Kukunci rapat-rapat. Aku berteriak dan melompat kegirangan. Meluapkan kesenangan
yang aku pendam dari Parepare.
Tak lama aku
di kamar. Ibu kos mengetuk pintuku.
“Ainulia…Ada
kiriman untukmu,” teriak ibu kos.
“Dari siapa
bu?”
“Ibu tak tahu,
kiriman itu ada di dapur,”
Aku menyimpan
surat Arif di laci. Dengan raut muka yang masih ceria, aku mengambil kiriman untukku.
Sebuah kotak kecil. Tertulis untuk kekasih yang tak pernah kulupakan. Dari orang
yang tak akan melupakanmu, Arsyad.
Dunia terasa
berputar kembali. Mengapa Arsyad kembali
ke duniaku? Mengapa dia memunculkan keberadaannya setelah aku mencoba melupakannya?
Aku melempar kiriman itu.
bersambung....
JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAMKU!
JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAMKU!
0 komentar