Dear Diary: Aku adalah Pelacur (8)

By Hamidah Foundation - 17.05



Malam itu hawa malam terasa menusuk hingga tulang. Badanku kututupi hingga tiga lapis selimut. Aku tak bisa memejamkan mata hingga subuh. Hanya bunyi suara jam dinding bagaikan langkah seseorang menemani. Sepeti orang yang ingin mencabut nyawaku. Membuat aku takut. Kututup telinga namun tetap terdengar suara jam ini. Hingga suara azan terdengar, aku masih terjaga bersama suara seram jam dinding.  

Suara hentakan kaki terdengar di bawah kolom rumah. Terdengar suara kaki yang sedang mengendap-endap. Aku berpikir itu suara ambo, bapak pemilik rumah. Tempat kami tinggal. Aku pun coba mengintip. Aku melihat sosok lelaki berbadan tegak. Wajahnya samar. Karena kondisi masih gelap. Ia berlari ketika aku berteriak. Ia menjatuhkan sesuatu. Aku mendekat. Kudapati bunga Edelweis. Bunga yang sering aku dapati dari orang misterius belakangan ini. Aku pun menduga, orang inilah yang mengirimkanku bunga selama ini. Teriakanku membangunka seisi rumah.

“Kenapa kamu berteriak Ainu?” Tanya Helmi.
“Seseorang tadi mengendap-endap di kolom rumah, sepertinya dia ingin melakukan hal tidak benar,” jawabku cepat.
“Sekarang di mana dia, kamu tidak dilukai?tanya Raya.
“Tidak. Aku baik-baik aja, ia sudah lari pas aku berteriak.”ujarku dengan menyembunyikan bunga Edelweis di belakangku.
Selain bunga Edelweis, Ia juga menjatuhkan peci. Aku menduga ia dari shalat subuh di masjid. Siang hari aku menuju masjid dekat posko. Aku menanyakan pada pengurus masjid tentang pemilik peci yang aku temukan subuh tadi. Mereka juga tak tahu. Aku kecewa dengan jawaban  pengurus masjid. Tapi penasaranku sudah berkurang karena aku tahu dia seorang lelaki di daerah ini. Aku sudah mendapatkan petunjuk, meski hanya sebuah peci.

Setiap subuh aku menunggu, orang yang menaruh bunga Edelweis. Sudah seminggu aku menunggu ia tapi berakhir dengan tangan hampa.  Ia tak pernah datang lagi. Hingga KKN berakhir dia tak pernah muncul. Aku kecewa sekaligus sedih. Aku tak tahu mengapa bersikap demikian.

Aku bersama keempat temanku telah menyelesaikan program kerja kami selama KKN. Laporan pun sudah hampir rampung. Kami sudah berpamitan dengan dengan tokoh masyarakat dan lurah. Hari untuk pulang ke rumah masing-masing telah tiba. Dengan perasaan mengharu biru, kami pamit pada ibu dan ambo. Pemilik rumah, tempat kami tinggal selama dua bulan. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Kami akan berpisah. Kami mungkin tak akan bertemu lagi. Meski kami satu kampus. Aku pun akan selalu penasaran dengan lelaki pengirim bunga itu. Orang yang dapat mengetahui perasaanku dengan hanya memperhatikanku dari jauh. Aku sangat rindu dan ingin melihat wajahnya.

Bus sudah ada di depan posko.  Tanda kami harus pergi. Meninggalkan Parepare. Barang-barang sudah dinaikkan. Kami pun siap berangkat. Aku makin berat meninggalkan kota ini. Perasaanku masih tak karuan. Aku akan meninggalkan perasaan di kota ini. Entah apa nama persis perasaan ini. Yang jelas aku jatuh cinta dengan lelaki pengirim bunga itu.  Aku cinta dengan kata-kata dan semangatnya untuk aku. Meski aku tak tahu raut wajahnya. Aku pun berdoa. Ya Tuhanku, jangan engkau buat aku tersiksa begini dengan meninggalkan perasaan kepada lelaki lagi. Aku sudah tak kuat menahan derita. Namun Tuhan tak mengijabah doaku. Aku meninggalkan Parepare dengan kenangan dan kembali menyiksaku. Aku menangis dalam hati. Ketika aku terdiam. Raya memberikanku sepucuk surat dan seikat bunga Edelweis. Aku kaget dan heran.

“Kemarin, seorang lelaki memberikanku surat dan bunga ini. Namanya Arif. Orang cakep. Baik. Ia sudah sarjana. Arsitek. Katanya dia minta maaf karena terlalu pengecut menemui kamu. Ialah yang sering mengirimkan kamu bunga. Ia memintaku untuk memberikanmu surat dan bunga ini setelah kita meninggalkan Parepare.” ungkap Raya.
“Bodoh. Kenapa dia terlalu pengecut menemuiku,” gumamku.
“Kamu jatuh cinta yah pada Arif,” celetup Raya.
Wajahku memerah. Aku menutup mukaku. “Ah…mana mungkin, orang itu tak aku kenal,” tampikku.

Namun aku tak mau mengungkapkan bahwa aku memang jatuh cinta pada Arif. Aku jatuh cinta untuk kedua kalinya. Aku menyangka tak akan jatuh cinta lagi pada lelaki. Aku membaca suratnya selama perjalanan ke Sungguminasa. Aku merasa sangat senang. Ia mengatakan suka dan tertarik denganku. Ia tertarik denganku karena sikapku yang dingin terhadap lelaki. Ia ingin menolongku. Mengembalikan keceriaan yang telah lama hilang. Ia berjanji akan menemuiku di Sungguminasa bulan depan. Aku sangat senang hingga meluapkan dengan tertawa lepas.

Lima jam perjalanan terasa singkat. Aku tak henti-hentinya mengumbar senyum. Aku tak ingat lagi perasaan benciku pada lelaki. Aku ingin meluapkan perasaan ini dengan melompat dan berteriak. Tapi aku menahan. Aku akan lakukan jika sampai di rumah. Aku berlari pulang. Barang-barangku aku titip pada Raya. Tak sampai setengah jam, aku sampai di rumah. Aku membuka kamar. Kukunci rapat-rapat. Aku berteriak dan melompat kegirangan. Meluapkan kesenangan yang aku pendam dari Parepare.

Tak lama aku di kamar. Ibu kos mengetuk pintuku.

“Ainulia…Ada kiriman untukmu,” teriak ibu kos.
“Dari siapa bu?”
“Ibu tak tahu, kiriman itu ada di dapur,”
Aku menyimpan surat Arif di laci. Dengan raut muka yang masih ceria, aku mengambil kiriman untukku. Sebuah kotak kecil. Tertulis untuk kekasih yang tak pernah kulupakan. Dari orang yang tak akan melupakanmu, Arsyad.

Dunia terasa berputar kembali.  Mengapa Arsyad kembali ke duniaku? Mengapa dia memunculkan keberadaannya setelah aku mencoba melupakannya? Aku melempar kiriman itu. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar