Keesokan harinya Arsyad mengirimkan bunga ke depan
kamarku. Namun aku acuhkan kirimannya. Namun ia masih tetap mengirimkan untukku. Surat darinya belum aku baca. Hanya tergeletak di sudut kamarku. Aku
tidak mau lagi bertemu dengannya. Aku tak mau mengenal lagi namanya. Apalagi ia
kembali masuk ke duniaku. Dunia yang sudah mengubur namanya dalam-dalam. Hingga
tak satu pun alasan bisa membawanya dari alam kubur.
Setiap malam aku berdoa kepada Tuhan. Supaya Arsyad
tak pernah kembali ke duniaku. Dunia yang mulai hijau. Tak lagi gersang. Sosok Arif
lah yang membuatnya layak untuk ditempati. Lelaki misterius dari Parepare. Aku
berdoa pula supaya Arsyad benar-benar menghilang. Hancur lebur. Tak tersisa.
Abunya tak bersatu bersatu dengan udara. Hilang begitu saja ke dunia lain.
Mungkin Tuhan akan marah besar kepadaku. Karena aku berdoa keburukan. Jika Neraka Jahannam balasan atas doaku akan aku terima.
Setelah bunga mawar merah yang dikirimkan Arsyad
kepadaku tak aku hiraukan, dia muncul
tiba-tiba. Aku menghindar. Berlari menjauh darinya. Namun dia tetap mengejar.
Aku tak mau berbicara dengannya. Namun dia tetap mengejarku.
“Ainu, Tunggu aku mau berbicara denganmu!” teriaknya
padaku.
Aku tak menjawab. Mulutku aku kunci rapat-rapat. Aku
hanya berlari. Terus berlari. Hingga Arsyad tak lagi mengejarku.
Akhir-akhir ini waktuku kuhabiskan di rumah saja.
Jika aku ke kampus pasti ada Arsyad. Raya juga aku pesankan supaya tak bertemu
dengan lelaki jahat itu.
Namun entah mengapa Raya membuka surat dari Arsyad.
Ia menangis kemudian memaksaku untuk membacanya. Mulanya aku tak mau. Aku
bahkan menyuruh Raya untuk membuang saja.
“Ainu, ini sangat penting untuk kau ketahui,”
ungkapnya.
“Kamu mesti mengetahui alasan Arsyad meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.”
“Baiklah. Aku akan membaca suratnya,” kataku
dengan perasaan yang penasaran.
Akhirnya aku membaca surat dari Arsyad. Kubaca
dengan sangat teliti. Kata demi katanya. Mengapa dia meninggalkanku tanpa satu
kata pun tiga tahun yang lalu. Saat aku benar-benar butuh dengannya. Saat cinta
kami lagi besar-besarnya.
For my love, Ainulia
Pertama aku minta maaf karena kembali menganggu
hidupmu. Mungkin kamu sangat benci denganku. Tak mau mendengar namaku. Apalagi menatap
wajahku. Karena telah meninggalkanmu. Mencampakanmu. Menghancurkan perasaanmu.
Mungkin hari ini bencimu masih belum hilang. Bahkan
bertambah jika mengingat aku. Ainu…surat yang aku tulis ini akan mengungkap
alasanku meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.
Kamu ingat terakhir kita jalan bersama di Pantai Losari.
Kamu menanyakan kepadaku tentang alasanku berbuat baik kepadamu. Yah... waktu itu
aku menjawab,” aku
melakukannya karena kamu begitu berarti buatku, kamu seperti jiwaku. Jadi
apapun yang terjadi padamu pasti aku rasakan. Sedihmu, senangmu, dan marahmu, aku
bisa rasakan.”
Aku benar-benar berkata jujur. Namun malam itu aku
bertemu dengan seorang lelaki. Lelaki yang tak akan aku lupakan. Ia penghancur
hidupku. Lelaki yang meninggalkan trauma sejak umurku masih belia. Ia telah
melakukan hal yang tak senonoh padaku ketika aku belum tahu arti dunia. Ia adalah
mantan pengasuhku sekaligus pamanku. Aku diperlakukan layaknya seorang tahanan.
Menyiksaku. Menekanku. Mengurungku. Bahkan ia sering mencabuliku. Ia memang
mempunyai kelainan. Ia tak suka perempuan. Ibu dan ayah menitipku padanya. Maklum
orang tuaku sering keluar daerah. Aku tak berani melapor kepada ayah maupun
ibu. Aku takut dia membunuhku. Ia memang sering mengancamku supaya tak melapor.
Aku turuti saja. Aku takut terjadi celaka pada orang tuaku. Dua tahun aku
jalani penyiksaan batin dan fisik dari pamanku. Aku sudah tak tahu berapa kali
dia melakukan tindakan tak senonoh padaku. Hingga aku berani melawan dan meninggalkan
luka pada wajahnya. Aku membuat bekas sayatan pisau pada mukanya. Hingga dia menaruh
dendam padaku. Akhirnya ia menjalani hukuman. Sepuluh tahun dia berada di balik
jeruji penjara.
Namun tiga tahun lalu ia sudah bebas. Ia kemudian
menerorku. Ia mau membunuhku. Waktu itu aku benar-benar bingung. Tak tahu
harus berbuat apa. Akhirnya kuputuskan meninggalkanmu. Supaya kamu tak terlibat
masalahku. Aku takut kamu disakit.
Setelah meninggalkanmu, aku menanggapi terornya. Aku
menerima tantangnya. Aku meninggalkan Kota Sungguminasa. Aku hijrah ke Kota Bali. Dia
mengikutiku. Akhirnya pertarungan pun dimulai. Dia pasti ingin membunuhku. Aku pindah
ke universitas swasta di sana. Aku tinggal seorang diri. Aku berhasil menghindarkan
kau dengannya. Aku sangat tahu siapa orang ini. Setiap hari dia menerorku
dengan cara mistis dengan menaruh pasir hitam dan bunga tujuh rupa. Memberi surat
tantangan dengan belati dan darah. Enam bulan ia menerorku dengan berbagai
macam cara. Namun aku tak menanggapi. Setiap kali aku mendapat teror. Setiap
itu pula aku berpindah tempat. Entah berapa kali aku berpindah tempat. Aku
benar-benar tak tenang. Aku pun sempat ingin bunuh diri. Namun dirimulah yang
membuat aku tetap tegar, Ainu.
Hingga suatu hari teror itu tak datang. Aku tak
tahu mengapa teror itu berhenti. Aku pun lupuk. Ternyata dia menyiapkan jebakan
untukku.
Ketika aku pulang di rumah kosku. Polisi
Sudah menungguku. Ia meletakkan narkoba di kamarku. Aku tak tahu bagaimana caranya
narkoba itu ada di rumahku. Aku tak bisa mengelak. Aku berpikir benar-benar
akan berakhir di penjara. Tak akan bisa melihatmu lagi. Hingga suatu hari
ketakutanku ini mulai tak terbukti.
0 komentar